Bikin Sengsara Petani, 2 Kelompok Warga Kompak Menolak Pola Kemitraan di Register 45 Mesuji

Pada kenyataanya pola kemitraan yang berjalan justru tidak menguntungkan dan membuat petani terpuruk

Wakos Reza Gautama
Rabu, 18 September 2024 | 14:54 WIB
Bikin Sengsara Petani, 2 Kelompok Warga Kompak Menolak Pola Kemitraan di Register 45 Mesuji
Ilustrasi warga Register 45 Mesuji. Warga Marga Jaya dan Sido Rukun menolak pola kemitraan perhutanan di Register 45 Mesuji. [ISTIMEWA]

SuaraLampung.id - Sejumlah petani di Register 45 Kabupaten Mesuji mengaku kapok menjalin kemitraan dengan pihak perusahaan PT Silva Inhutani. Sebab selama ini menurut mereka, tidak ada transparansi mengenai hasil panen yang didapat. 

Program kemitraan antara Kelompok Pengelola Hutan (KPH) Sungai Buaya, Register 45, dengan PT Silva Inhutani digagas pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan untuk menyelesaikan konflik agraria di Register 45.

Pada saat itu, petani yang mengikuti program kemitraan ini dijanjikan kesejahteraan dari hasil surplus panen komoditas kemitraan yang dijalankan oleh petani.

Pada kenyataanya pola kemitraan yang berjalan justru tidak menguntungkan dan membuat petani terpuruk dalam kemiskinan.

Baca Juga:Komnas HAM Perjuangkan Hak Pilih Masyarakat Hutan Register Mesuji di Pilkada 2024

Nyoman Sayur, warga Marga Jaya. mengaku sudah mengikuti program kemitraan sejak tahun 2015 hingga sekarang dengan 3 jenis komoditas yaitu kayu (albasia), singkong dan juga tebu.

Untuk kayu Nyoman mengatakan, ditanam sejak tahun 2015 dan saat ini sudah 9 tahun selesai dipanen ternyata tidak ada laporan hitungan dan hasil bagi petani.

"Jadi petani tidak tahu secara jelas dapatnya berapa kubik dan berapa hasil dari penjualannya, semua dipanen oleh PT Silva tanpa hitungan yang transparan," ujar Nyoman melalui rilis yang diterima Suara.com, Rabu (18/9/2024).

Hal yang sama berlaku juga untuk komoditas singkong. Terhitung sejak 2015 kata Nyoman, masa tanam sudah beberapa kali panen. Namun sampai sekarang belum ada hitungan hasil panen dan hitungan bagi hasil bagi petani,

Untuk komoditas Tebu yang berjalan tahun 2023 juga tidak jauh berbeda hasilnya dengan komoditas kemitraan sebelumnya.

Baca Juga:4 Pasangan Bakal Bertarung di Pilkada Mesuji 2024

Menurut dia, setelah panen Tebu hitungan pendapatan dan bagi hasil bagi petani sangat jauh dari cukup untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

"Hitungannya sebagai komoditas tahunan tidak masuk, untuk jangka waktu setahun dengan luasan 1 hektare cuma menghasilkan pendapatan Rp1-2 juta bagi petani. Hitungan yang jauh dari kata cukup untuk menutupi kebutuhan hidup keluarga petani perbulannya," kata Nyoman Sayur.

Hal sama dialami masyarakat Sido Rukun di mana program kermitraan yang katanya menjamin keamanan bagi petani ternyata juga jauh dari harapan.

Menurut salah satu tokoh masyarakat Sido Rukun yang tidak bersedia diungkap identitasnya, masih banyak terjadi premanisme yang masuk ke masyarakat, mengancam mengambil lahan masyarakat dan meminta sejumlah uang kepada masyarakat.

Bahkan kata dia, pada beberapa kasus terdapat pengambil alihan lahan petani secara paksa oleh oknum-oknum tertentu untuk diperjualbelikan.

"Masyarakat gak berdaya sama mafia-mafia yang seperti itu, sedangkan aparat negara dan pemerintah cenderung melakukan pembiaran sehingga tetap saja korbannya adalah petani," kata dia.

Atas kenyataan tersebut menurut Nyoman Sayur masyarakat Marga Jaya dan Sido Rukun menyatakan menolak Kemitraan dan segala bentuk kerjasama Perhutanan Sosial.

"Kami sudah capek dan tidak mau lagi dibohongi dengan janji-janji palsu mensejahterakan, janji palsu petani Berjaya. Itu jauh dari harapan, sudah 9 tahun berjalan bukan kesejahteraan yang kami dapat tapi sengsara dan kesulitan hidup untuk bertahan," tuturnya.

Pandangan yang sama disampaikan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Syahrul Sidin.

Ia meminta Pemerintah Daerah dan juga KPH Sungai Buaya untuk menghentikan program Kemitraan dan Perhutanan Sosial.

Menurut Syahrul, Negara semestinya memeriksa kembali praktik kerjasama program tersebut, apakah benar program tersebut menyelesaikan konflik agraria secara nyata atau hanya menunda konflik agraria yang jauh lebih besar dampaknya di kemudian hari.

"Secara nyata praktek 9 tahun kemitraan menyisakan luka dan kesengsaraan bagi petani yang bermitra, jadi wajar kalau kemudian kesimpulannya hari ini mereka menolak Kemitraan dan perhutanan sosial," tegas Syahrul Sidin.

Dikutip dari ANTARA, kesepakatan kerja sama kemitraan antara penggarap dan pemukim maupun pemegang hak kelola hutan PT Silva Inhutani Lampung ditandatangani pada 30 September 2015.

Saat itu terdapat tujuh desa yang ikut serta dalam program kemitraan, di antaranya kelompok Marga Jaya, Tugu Roda, Karya Jaya, Karya Tani, Maju jaya, Sido Rukun, dan Mekar jaya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini