SuaraLampung.id - Serikat Pekerja Media (SPM) Lampung dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mengecam perusahaan media yang tidak memenuhi hak normatif pekerja media korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Koordinator SPM Lampung Derri Nugraha mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir puluhan pekerja media di Lampung mengalami PHK.
"Banyak di antara mereka yang tak mendapatkan pesangon sesuai dengan masa kerjanya,” ujar Derri Nugraha, Sabtu (17/8/2024).
Terbaru, tiga jurnalis dari Tribun Lampung menerima informasi PHK oleh perusahaan dengan alasan efisiensi pada 5 Agustus 2024.
Baca Juga:Perdana, Momen Upacara Bendera HUT RI Digelar di Kota Baru Lampung
Perusahaan meminta ketiganya untuk menandatangani surat kesepakatan PHK dengan pesangon hanya satu kali gaji. Padahal, salah satu dari mereka sudah bekerja selama 4 tahun 8 bulan.
Merujuk Pasal 40 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, pekerja berhak mendapat pesangon yang nilainya sesuai dengan masa kerja.
Untuk masa kerja 4 tahun atau lebih namun kurang dari 5 tahun, berhak atas pesangon lima bulan upah. Selain itu, pekerja juga berhak atas uang penghargaan masa kerja sejumlah dua kali upah, serta uang penggantian hak.
Kendati demikian, kata Derri, langkah PHK atas dasar efisiensi pun patut dibuktikan dengan jelas. Sebab, dalam pasal 43 PP 35/2021 dan penjelasannya diterangkan, bahwa PHK karena efisiensi dilakukan untuk dua kondisi, yaitu ketika perusahaan mengalami kerugian dan mencegah terjadinya kerugian.
Perusahaan yang mengalami kerugian dapat dibuktikan antara lain berdasarkan hasil audit internal atau audit eksternal. Sementara, efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian ditandai dengan antara lain adanya potensi penurunan produktivitas perusahaan atau penurunan laba yang berdampak pada operasional perusahaan.
Baca Juga:Modus Mantan Sopir Curi Mobil Bos yang Parkir di RS Advent Bandar Lampung
Kemudian, Putusan MK No. 19/PUU-IX/2011 berpendapat dengan mendasarkan pada SE Menaker 907/2004, bahwa perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya seperti:
1. mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
2. mengurangi shift;
3. membatasi/menghapuskan kerja lembur;
4. mengurangi jam kerja;
5. mengurangi hari kerja;
6. meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
7. tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
8. memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
“Artinya, perusahaan tidak boleh sembarangan melakukan PHK atas dalil efisiensi sebelum memenuhi syarat-syarat tersebut,” ujar Derri Nugraha.
Saat ini, lanjut Derri, korban PHK tersebut sedang mengajukan keberatan atas pesangon yang diterima. SPM dan AJI mendesak agar Tribun Lampung memenuhi hak mereka tanpa terkecuali.
Sementara, Ketua AJI Bandar Lampung Dian Wahyu Kusuma menyatakan keprihatinan atas meningkatnya kasus PHK pekerja media di Lampung. Apalagi, bila ada perusahaan yang memperhatikan hak-hak normatif pekerjanya.
“Meskipun tantangan ekonomi yang dihadapi perusahaan media sangat berat, pemenuhan hak-hak normatif karyawan harus tetap menjadi prioritas utama. Sebab, para pekerja media merupakan elemen penting untuk menjaga keberlangsungan dan kualitas informasi yang disampaikan kepada masyarakat,” kata Dian.
Kondisi kesejahteraan pekerja media di Lampung memang suram. Pelbagai persoalan terkait ketenagakerjaan seperti pemotongan upah, gaji di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, ketidakjelasan status ketenagakerjaan dan beban kerja ganda, masih membayangi profesi jurnalis dan pekerja media di Lampung.
AJI Bandar Lampung mendata sepanjang 2022-2023, sekitar 36 pekerja media dan jurnalis dari empat media mengalami PHK.
Pada 2024 saja, ada 12 pekerja media mengalami PHK. Beberapa di antaranya terkena PHK sepihak dan tak mendapat hak-hak normatif sebagai pekerja seperti pesangon dan tunjangan lainnya.
Persoalan lainnya terkait upah pekerja. AJI mendapat informasi, masih banyak perusahaan media yang menggaji karyawannya di bawah UMP.
Selain itu, ada perusahaan yang memberlakukan pemotongan upah bila jurnalis tak membuat berita sesuai target. Terdapat pula perusahaan yang mencicil gaji pekerjanya. Jadi, jurnalis tak menerima gaji secara utuh melainkan diangsur sebanyak 3-4 kali dalam sebulan.
“Mengupah pekerja di bawah UMP merupakan perbuatan pidana. Maka pekerja yang menerima upah tak sesuai UMP bisa melapor ke polisi,” kata Dian.
Selanjutnya, beban kerja ganda juga mesti ditanggung oleh jurnalis di Lampung. Selain membuat berita, terdapat perusahaan yang mewajibkan jurnalisnya untuk mencari pemasukan melalui iklan atau kerja sama.
Biasanya mereka diberi target tertentu setiap bulan. Sehingga jurnalis bekerja bak sales marketing untuk perusahaan. Jika tak memenuhi omzet tertentu, upah mereka juga akan dipotong.
Bahkan, omzet itu dijadikan hutang terhadap jurnalis. Maksudnya, jumlah omzet yang tidak terpenuhi akan dianggap sebagai hutang jurnalis terhadap perusahaan.
Hal itu akan bermasalah ketika pekerja hendak resign dari perusahaan. Mereka mesti melunasi utang omzet yang belum terpenuhi tersebut, barulah bisa keluar dari perusahaan.
Melihat situasi itu, Serikat Pekerja Media Lampung dan AJI Bandar Lampung membuka posko pengaduan hubungan industrial. Bagi jurnalis dan pekerja media yang mengalami persoalan ketenagakerjaan seperti PHK sepihak, gaji di bawah UMP, pemotongan upah, dll, bisa mengisi google form berikut https://bit.ly/FormPengaduanTenagaKerjaMedia.
“SPM Lampung dan AJI akan menjaga kerahasiaan pekerja yang membuat pengaduan. Nantinya, pelapor akan menerima bantuan advokasi untuk penyelesaian kasusnya,” pungkas Dian.