SuaraLampung.id - Sudah empat bulan upah ratusan Masyarakat Mitra Polhut penghalau gajah (MMP) Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) belum dibayar.
MMP penghalau gajah didominasi masyarakat desa penyangga TNWK yang bertugas sebagai penghalau gajah liar yang sering keluar dari dalam hutan.
Tujuannya agar gajah gajah liar tidak merangsek tanaman petani yang ada di perbatasan hutan TNWK.
Zakaria, satu dari ratusan anggota MMP, mengakui sudah empat bulan upah dari TNWK belum dibayar. Besaran upah yang diberikan dari TNWK Rp240 ribu per bulan.
Baca Juga:Lagi Gajah Mati di Camp ERU Tegal Yoso TNWK
"Kalau dihitung Rp240 ribu kali empat bulan sudah Rp960 ribu. Lumayan bisa untuk tambahan belanja keperluan idul Fitri, bagi kami nominal segitu lumayan," kata Zakaria.
Zakaria yang tinggal di Desa Rantau Jaya Udik 2, Kecamatan Sukadana, sudah lima tahun menjadi anggota MMP. Banyak pengalaman yang ia lalui ketika menghalau gajah liar yang penuh risiko itu.
"Menjadi MMP itu risikonya tinggi menghadapi binatang liar seperti gajah risikonya kehilangan nyawa, dan memang sudah ada bukti yang mati terinjak gajah," kata Zakaria.
Artinya dengan nilai upah sebesar Rp240 ribu per bulan tidak sebanding dengan risiko yang harus Zakaria hadapi.
Pengurus Forum Rembuk Desa Penyangga (FRDP) hutan TNWK Suyuti mengatakan, pihaknya akan menemui pihak Balai TNWK membahas persoalan upah MMP yang belum dibayar.
Baca Juga:Pemasangan GPS Collar Gajah Liar di Lampung Barat Gagal, Ini Penyebabnya
"Kami akan temui pihak Balai TNWK untuk meminta tanggapan dan alasan kenapa upah mereka sudah 4 bulan belum dibayarkan," kata Suyuti.
Menurut Suyuti, wajar jika anggota MMP gajah menanyakan upah karena mereka benar-benar bekerja merelakan waktu malamnya untuk menunggu tanaman petani dengan penuh risiko.
Menanggapi hal tersebut Kepala Balai TNWK Kuswandono menjelaskan sebanyak 200 an anggota MMP belum menerima upah karena masih ada administrasi dari beberapa desa yang belum diselesaikan.
Anggota MMP gajah ditunjuk dan mengamankan wilayah desa masing masing yang berdekatan dengan hutan, sementara kerja mereka dalam satu bulan diambil 6 hari kerja sementara di Lampung Timur ada 23 desa penyangga.
"Sehingga untuk pencairan upah tentu harus ada administrasi semacam SPJ yang harus dibuat anggota MPP dan diketahui pihak desa masing-masing, dan ada beberapa desa yang belum menyelesaikan administrasi tersebut sehingga upah tersendat," kata Kuswandono.
Kontributor : Agus Susanto