Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Kamis, 22 Mei 2025 | 18:57 WIB
Dialog Kritis Mencari Solusi yang diselenggarakan oleh Suara.com dan Core Indonesia

SuaraLampung.id - Ketika badai tarif dari Amerika Serikat mengguncang ekspor Indonesia, suara dari Bandung bergema nyaring sebagai peringatan keras: sudah saatnya kekuatan ekonomi dibangun dari dalam, bukan lagi bergantung pada pasar luar yang tidak pasti.

Dari meja diskusi publik bertajuk Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi” yang diselenggarakan oleh Suara.com dan Core Indonesia di El Hotel Bandung, Selasa (20/5), para ekonom, pelaku industri, dan pemangku kebijakan menyoroti ancaman dan peluang yang muncul, serta mendesak hadirnya solusi konkret dari level daerah hingga nasional., wacana penguatan ekonomi lokal kini berubah jadi tuntutan.

Gelombang ketidakpastian ekonomi global mendorong banyak negara untuk berbenah.

Indonesia, sebagai negara dengan potensi manufaktur besar, justru harus menghadapi ancaman dari luar dan dalam negeri. Dalam forum tersebut, seruan untuk memperkuat pondasi ekonomi lokal menggema keras.

Baca Juga: Aksi Kejar-kejaran Maut di Lampung, Pencuri Mobil Tembaki Polisi di Jalan Lintas Sumatera

Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, dalam sambutannya menyoroti fakta bahwa perlambatan ekonomi bukan sekadar prediksi, tapi telah menjadi realitas yang dirasakan langsung di lapangan.

Ia menyebut Bandung bukan sekadar tuan rumah acara, melainkan simbol dari denyut industri ekspor nasional yang kini sedang merasakan dampaknya, dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur.

“Kita menghadapi perlambatan ekonomi yang nyata. Bandung dipilih karena menjadi salah satu sentra ekspor nasional—dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur—yang kini sedang tertekan. Ini momentum penting untuk mencari solusi dari daerah sebagai rujukan kebijakan nasional,” ujarnya dalam sambutan.

Berdasarkan data BPS, pada Januari 2025 ekspor nonmigas Jawa Barat ke Amerika Serikat mencapai USD 499,53 juta atau 16,62% dari total ekspor nonmigas provinsi. Sementara dari Bandung, ekspor ke AS pada Maret 2025 mencapai USD 7,7 juta.

Namun, Bandung juga menghadapi gelombang PHK massal, terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), akibat penurunan pesanan dan meningkatnya persaingan dengan produk impor.

Baca Juga: Korupsi Bansos Diduga Pemicu Kerusuhan di Lampung Tengah, 10 Ton Beras Raib!

Kebijakan tarif baru dari AS dikhawatirkan akan menekan permintaan ekspor lebih lanjut, sementara arus masuk produk impor semakin meningkat, sehingga industri dalam negeri berpotensi terpukul dua kali lipat.

Dalam sesi diskusi, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D., mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi risiko serius akibat perang dagang AS-Tiongkok, dengan data menunjukkan penurunan ekspor China ke AS hingga 10,5% pada 2025, sementara ekspor ke ASEAN meningkat hingga 19,1%.

Menurut perhitungan CORE, potensi impor ilegal dari Tiongkok mencapai 4,1 miliar USD dengan kerugian negara sekitar Rp 65,4 triliun, situasi yang diperburuk oleh perlambatan ekonomi global dan tekanan pada nilai tukar Rupiah.

Prof. Rina Indiastuti dari Universitas Padjadjaran memaparkan dampak kebijakan tarif AS terhadap industri Jawa Barat, terutama sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki yang telah mengalami tekanan signifikan hingga beberapa perusahaan mengalami kerugian, tutup, dan melakukan PHK.

Merespons hal tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, mengungkapkan bahwa pelaku usaha saat ini sedang menghadapi tekanan berlapis.

“Kami para pengusaha merasa resah, bukan hanya karena perang dagang AS–China, tapi juga berbagai hambatan lain. Mulai dari ketidakpastian usaha dan hukum, maraknya impor barang legal maupun ilegal, hingga regulasi yang saling tumpang tindih dan tidak sinkron,” ujar Ning.

Ia menjelaskan, bahwa proses perizinan pun sering tidak transparan. Janji izin usaha selesai dalam dua minggu sering kali meleset jadi berbulan-bulan karena harus melewati banyak meja.

Masalah tenaga kerja pun tak kalah pelik, dipolitisasi, sering terjadi aksi demo berkepanjangan, dan regulasi pengupahan yang rentan intervensi politis.

“Kami juga menghadapi pungutan liar dan premanisme yang marak dan dilakukan terang-terangan. Di sektor logistik, biaya-biaya tak resmi di tiap tikungan membuat usaha kami tidak kompetitif karena beban biaya yang tinggi,” kata Ning.

Ia menekankan bahwa dunia usaha membutuhkan perlindungan yang adil dan kebijakan yang konsisten.

“Kami butuh aturan main yang jelas. Jangan terus-terusan pelaku usaha lokal jadi korban eksperimen kebijakan,” tegasnya.

Meski demikian, Prof. Rina juga mengidentifikasi peluang melalui pergeseran rantai pasok global, seperti rencana relokasi pabrik otomotif ke Jawa Barat.

Menurutnya, basis manufaktur kuat dan beragam yang dimiliki Jawa Barat meliputi otomotif, elektronik, tekstil dan pakaian, plastik, mineral non-logam, agro-pangan dan farmasi merupakan modal baik untuk pengembangan kapasitas inovasi daerah, terutama dengan dukungan universitas dan pusat riset yang bisa dikoneksikan langsung pada pengembangan industri.

Dialog Kritis Mencari Solusi yang diselenggarakan oleh Suara.com dan Core Indonesia

Menanggapi tantangan tersebut, terdapat strategi utama yakni pengendalian arus impor dan peningkatan komponen lokal.

Load More