SuaraLampung.id - Aroma perjuangan membakar Desa Sripendowo, Lampung Timur. Ratusan aktivis, pejuang agraria, dan masyarakat sipil dari seluruh penjuru Sumatera berkumpul dalam ajang akbar: "Temu Rakyat Sumatera".
Bukan sekadar pertemuan biasa, ini adalah deklarasi perang terhadap fenomena yang semakin mencekik: perampasan ruang hidup!
Sejak Jumat (5/9/2025), gelombang massa mulai memadati lokasi acara. Raut wajah mereka menyiratkan tekat baja, siap mengukir sejarah selama tiga hari ke depan (6-8 September 2025).
Sumaindra Jarwadi, Koordinator Temu Rakyat Sumatera, tak bisa menyembunyikan semangatnya. "Ini adalah forum konsolidasi masyarakat untuk melawan perampasan ruang hidup yang marak terjadi di berbagai sektor," tegasnya.
Baca Juga:Mantan Bupati Lampung Timur Segera Disidang Korupsi Gerbang Rumah Jabatan
Tema yang diusung bukan main-main: “Bangun Persatuan Gerakan Rakyat, Lawan Perampasan Ruang Hidup”. Ini adalah respons lantang terhadap realitas pahit di lapangan. Sumaindra menyoroti bagaimana perampasan ruang hidup kini tak lagi didominasi perusahaan swasta.
"Negara juga turut menggunakan kebijakan dan instrumen hukum yang memfasilitasi praktik tersebut," kritiknya pedas.
Situasi ini, lanjutnya, adalah ancaman nyata bagi demokrasi, hak asasi manusia, dan kelangsungan hidup masyarakat Sumatera. Ironisnya, perjuangan mempertahankan hak kerap dibalas dengan kekerasan dan kriminalisasi.
"Kasus perampasan ruang hidup kerap diikuti pola kekerasan dan kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia," kata Sumaindra.
Coba bayangkan: tanah leluhur direbut, hutan adat digusur, wilayah pesisir dirampas. Ini bukan fiksi, melainkan kenyataan pahit yang dihadapi ribuan warga di Sumatera.
Baca Juga:Misteri Motor di Irigasi Lampung Timur Terkuak: Pemuda Ditemukan Tak Bernyawa
Enam Sektor Krusial, Ribuan Korban
Forum ini membedah enam sektor utama yang menjadi arena perampasan:
- Pertambangan: Lubang-lubang maut menganga, meninggalkan kerusakan dan penderitaan.
- Perkebunan: Monokultur sawit dan akasia merenggut keanekaragaman hayati dan lahan petani.
- Infrastruktur dan PSN: Megaproyek yang mengorbankan rakyat kecil atas nama "pembangunan".
- Pesisir dan Pulau Kecil: Nelayan kehilangan mata pencaharian, pulau-pulau terancam hilang.
- Energi: Proyek-proyek energi yang abai lingkungan dan hak masyarakat adat.
- Kawasan Hutan: Deforestasi masif demi keuntungan segelintir korporasi.
Kasus-kasus seperti konflik di Rempang, Kappa, Malangsari, dan Kotabaru menjadi bukti nyata betapa kejamnya praktik perampasan ini. Para pembela hak asasi manusia tak jarang menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan.
Politik Alternatif Rakyat: Jawaban Atas Penindasan
Temu Rakyat Sumatera bukan hanya ajang curhat para korban. Ini adalah dapur perumusan strategi bersama, tempat lahirnya ide-ide revolusioner. "Kami ingin Temu Rakyat Sumatera menjadi tonggak lahirnya politik alternatif rakyat sebagai jawaban atas kebijakan hari ini yang cenderung menindas," tambah Sumaindra penuh harap.
Rangkaian acara dimulai dengan diskusi panel dan Focus Group Discussion (FGD) yang mendalam. Para peserta akan merefleksikan pola perampasan, menganalisis akar masalah, dan yang terpenting: menyusun rencana tindak lanjut konkret.
Salah satu gagasan brilian yang mengemuka adalah pembentukan wadah komunikasi dan koordinasi lintas wilayah, baik itu sekretariat bersama atau forum dinamisator. Ini penting untuk memastikan bahwa perjuangan tidak terpecah belah, melainkan bersatu padu menghadapi kekuatan besar.
Puncak acara yang paling ditunggu? Deklarasi Manifesto Rakyat Sumatera. Sebuah kesepakatan sikap bersama yang akan menjadi panduan dan komitmen untuk terus melawan perampasan ruang hidup rakyat.