SuaraLampung.id - Kejaksaan Negeri (Kejari) Mesuji menggeledah kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mesuji terkait dugaan korupsi dana hibah 2023-2024.
"Penggeledahan ini terkait tindak lanjut surat perintah penyidikan Kejari Mesuji, soal tindak pidana korupsi dana hibah," kata Kepala Seksi Intelijen (Kastel) Kejari Mesuji, Jodhi Atma, Rabu (23/4/2025).
Dia mengatakan bahwa dalam penggeledahan tersebut Tim Penyidik Kejari Mesuji mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pertanggungjawaban penggunaan dana hibah tahun 2023-2024 oleh Bawaslu Mesuji.
"Untuk nilai dugaan kerugian negara, sementara kami masih menunggu hasil perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)," kata dia.
Baca Juga:Alasan KPK Geledah Kantor Dinas Perkim Lampung Tengah
Jodhi mengatakan bahwa hingga saat ini Kejari juga telah memeriksa pihak-pihak terkait dalam dugaan korupsi dana hibah oleh Bawaslu Mesuji.
"Sudah beberapa kami periksa seperti koordinator divisi di Bawaslu Mesuji, bendahara dan anggotanya," kata Jodhi Atma.
Dia mengatakan akan ada pemeriksaan saksi-saksi lainnya guna menyesuaikan antara dokumen-dokumen yang ada dan dari keterangan yang ada.
"Untuk total dana hibahnya sebesar Rp11,2 miliar," kata dia.
Kantor Dinas Perkim Lamteng Digeledah KPK
Baca Juga:Rp2 Miliar Diamankan! Korupsi Tol Terpeka Lampung Terungkap, Tersangka Baru Siap Menyusul?
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita dokumen usai menggeledah kantor Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Cipta Karya (Perkim) Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah pada Selasa (22/4/2025) ini.
“Untuk hasil geledah, disita dokumen dan barang bukti elektronik,” ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto kepada jurnalis di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Lebih lanjut Tessa menjelaskan bahwa penggeledahan dilakukan penyidik KPK terkait perkara dugaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Provinsi Sumatera Selatan, tahun anggaran (TA) 2024-2025.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut keterlibatan pejabat dinas di Lampung Tengah pada kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap delapan orang pejabat di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan pada Sabtu (15/3/2025).
“Itu yang sedang kami dalami. Apakah ini hanya orang per orang yang punya perusahaan. Mungkin kalau secara kelembagaan kayaknya sih tidak,” ujar Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu.
Oleh sebab itu, Asep menduga bahwa keterlibatan pejabat dinas di Lampung dalam kasus OTT di OKU hanya bersifat pribadi.
“Akan tetapi, yang jelas, yang bermasalah, kan yang di OKU,” ujarnya.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan dari OTT yang dilakukan KPK pada Sabtu (15/3) itu, ada sebanyak enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Adapun Kadis PUPR dan tiga Anggota DPRD berperan sebagai penerima suap sedangkan ada dua orang lainnya dari pihak swasta sebagai pemberi suap.
"Telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas PUPR Kabupaten OKU, dari 2024 sampai 2025," kata Setyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (16/3/2025).
Adapun enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka yaitu Nopriansyah (NOP) selaku Kepala Dinas PUPR OKU, Anggota DPRD OKU Ferlan Juliansyah (FJ), Ketua Komisi III DPRD OKU M Fahrudin (MFR), Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati (UH), M Fauzi alias Pablo dari pihak swasta, dan Ahmad Sugeng Santoso (ASS) dari pihak swasta.
Setyo menjelaskan, kasus itu bermula dari adanya pembahasan Rancangan APBD Kabupaten OKU pada Januari 2025. Kemudian beberapa perwakilan DPRD menemui pemerintah daerah dan meminta jatah Pokir (pokok-pokok pikiran DPRD untuk pengadaan barang dan jasa).
"Kemudian disepakati jatah Pokir itu berubah menjadi proyek fisik di Dinas PUPR," kata dia.
Selanjutnya, dia mengatakan bahwa pemerintah dan sejumlah Anggota DPRD itu pun menyepakati terkait nilai proyek bagi ketua, wakil ketua, maupun anggota. Walaupun ada perubahan nilai, tetapi fee proyek itu disepakati sebesar 20 persen sehingga totalnya sekitar Rp7 miliar.
"Saat APBD 2025 disetujui, anggaran Dinas PUPR naik dari awal Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar, jadi signifikan," katanya.
Kemudian ada sebanyak sembilan proyek dari PUPR terkait dengan kasus suap itu, di antaranya proyek rehabilitasi rumah dinas bupati dan wakil bupati, sejumlah proyek perbaikan jalan, proyek perbaikan jembatan, hingga pembangunan Kantor Dinas PUPR. (ANTARA)