SuaraLampung.id - Gugatan tiga mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) yang dipecat dan diskors oleh pihak kampus ditolak majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandar Lampung.
Dalam amar putusan majelis hakim yang diketuai Yarwan menyatakan menolak gugatan tiga mahasiswa Teknokrat seluruhnya.
"Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 243.000," isi amar putusan dikutip dari Direktori Putusan di website Mahkamah Agung.
Tiga mahasiswa Teknokrat yang mengajukan gugatan ke PTUN Bandar Lampung ialah Ulil Absor Abdalla, M Iqbal Surya Putra dan Mu’fatus Sifa’i.
Baca Juga:Viral Mahasiswa Dibanting Oknum Polisi, dr Tirta Khawatirkan Kesehatannya: Sangat Bahaya
Iqbal dan Mu'fatus adalah mahasiswa yang dikenai sanksi skorsing sementara Ulil dikenakan sanksi drop out oleh pihak kampus Teknokrat.
YLBHI LBH Bandar Lampung sebagai kuasa hukum tiga mahasiswa itu menyayangkan putusan majelis PTUN Bandar Lampung yang menolak gugatan kliennya.
Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung Mohammad Prabunatagama mengatakan, putusan majelis hakim itu mengesampingkan keterangan para saksi di persidangan.
"Bahwa ketujuh saksi yang hadir di persidangan, hampir seluruh keterangannya menyatakan tidak ada satupun masyarakat yang merasa keberatan dan terganggu dengan adanya sekretariat Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil (Himateks) dan kegiatan para mahasiswa di sekretariat itu," ujar Prabu melalui siaran pers.
Menurut Prabu yang merasa terganggu dengan adanya Sekretariat Himateks di dekat Kampus Teknokrat adalah Rektor Teknokrat Nasrullah.
Baca Juga:Polisi Banting Mahasiswa, Komisi III DPR ke Polri: Tidak Ada Lagi Represif
"Majelis hakim mengabaikan fakta-fakta persidangan mulai dari alat bukti surat, saksi-saksi, hingga pendapat ahli," kata Prabu.
Kuasa Hukum Rektor Universitas Teknokrat Indonesia Ahmad Fatoni dari Law Firm Jakarta mengatakan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung menolak gugatan para mahasiswa sudah sangat tepat.
"Dari awal kami yakin gugatan para mahasiswa terhadap klien kami tidak akan terbukti. Kami bersyukur atas putusan tersebut, artinya keadilan itu ada dan masih memihak klien kami," kata Ahmad Fatoni, Kamis (14/10/2021) dikutip dari Lampungpro.co--jaringan Suara.com.
Dalam fakta persidangan semua dalil yang di ajukan oleh mahasiswa tidak terbukti. Salah satunya tuduhan terhadap Universitas Teknokrat Indonesia yang menerbitkan SK Pemberhentian dan Skorsing kepada mahasiswa melalui whatsapp adalah tidak benar.
"Karena Surat Keputusan (SK) tersebut telah diberikan kepada yang bersangkutan secara patut. Dan ada bukti penerimaan dokumen yang di tanda tangani langsung oleh mahasiswa tersebut, serta telah dijadikan bukti di persidangan," ucap Fatoni.
Kasus antara mahasiswa dan Rektor Teknokrat ini bermula dari adanya pembangunan Sekretariat Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil (Himateks) Universitas Teknokrat Indonesia di belakang kampus.
Para mahasiswa lalu sering beraktivitas di sekretariat tersebut. Aktivitas mahasiswa di Sekretariat Himateks ini dipersoalkan pihak kampus utamanya Rektor UTI Nasrullah.
Nasrullah beralasan pihaknya mendapat teguran dari pihak kelurahan atas aktivitas mahasiswa di Sekretariat Himateks itu.
Menurut Fatoni, sekretariat itu digunakan untuk berkumpul sampai larut malam, hingga pagi dengan berteriak yel-yel an, bernyanyi dan bergitaran tanpa batas waktu.
"Meskipun telah diberikan peringatan oleh pihak keamanan kampus dan aparat Bhabinkantibmas, namun tidak diindahkan," ujarnya.
"Karena hal tersebut mengganggu masyarakat setempat. Sehingga masyarakat melalui Linmas melaporkan kepada RT dan kelurahan yang menyebabkan klien kami, kampus Universitas Teknokrat Indonesia mendapatkan surat peringatan dari pihak Kelurahan," tambah Ahmad Fatoni.
Pada akhir Februari dan awal Maret 2021, pihak kampus mengeluarkan surat skors dan DO terhadap sembilan mahasiswa Teknik Sipil.
Dalam surat keputusan (SK) rektor UTI, disebutkan alasan pemecatan dan skorsing karena sembilan mahasiswa itu melanggar kode etik mahasiswa dan melakukan kegiatan merusak citra kampus.
Pihak kampus menyebut sembilan mahasiswa itu telah mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat dengan aktivitas mereka di permukiman warga dan kampus.
Pihak Kampus juga khawatir aktivitas para mahasiswa itu membangun jiwa ekstremisme dan radikalisme yang bertentangan dengan prinsip-prinsip akademis.