SuaraLampung.id - Memasuki halaman Museum Ketransmigrasian di Desa Bagelen, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran kita akan sedikit dibuat kaget.
Gerbangnya besar dan halamannya cukup luas, namun terasa sepi. Rumput-rumput mulai meranggas di sana sini, seperti tak terurus.
Pada bagian tengah, kita akan disambut sebuah gedung yang terlihat menua. Cat bagian depannya sudah banyak yang mengelupas. Belum lagi dinding bangunan dipenuhi lumut-lumut berwarna hijau kehitaman. Pada bagian muka pintu tertulis Museum Ketransmigrasian.
SuaraLampung.id sengaja datang ke museum tersebut untuk membuktikan apa yang menjadi omongan orang-orang, Museum Ketransmigrasian Lampung seperti hidup segan mati tak mau.
Baca Juga:ABG Bawa Gulungan Uang Rp 2 Ribu, Isinya Mengejutkan
"Saya akan buktikan kalau anggapan itu salah," tegas Hana Kurniati, Kepala Museum Ketransmigrasian baru-baru ini.
Ia memang baru ditempatkan di sana, sekitar awal tahun 2020.
"Begitu kami ingin bergerak, kita dihantam Corona, jadinya untuk sementara kita masih susun strategi ulang untuk mempromosikan kembali museum ini," tambah Hana.
Hana dan beberapa staf museum pun mengajak SuaraLampung.id berkeliling melihat aneka koleksinya.
"Kewenangan museum sudah beralih, tadinya ada di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sekarang di bawah wewenang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung," tambah Hana.
Baca Juga:Penyelundupan Benih Lobster Asal Lampung Dibongkar, Nilainya Capai Rp 6 M
![Pengunjung tengah menikmati koleksi Museum Ketransmigrasian di Desa Bagelen, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. [Suara.com/Andry Kurniawan]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/02/06/31997-museum-ketransmigrasian.jpg)
Menurut Hana, museum tersebut dibangun untuk mengenang sejarah transmigrasi pertama di Indonesia (dahulu disebut kolonialisasi), pada tahun 1905. Pada tahun itu ada 155 kepala keluarga yang diberangkatkan dari Pulau Jawa Karesidenan Kedu, Jawa Tengah ke Gedong Tataan, Karesidenan Lampung.
- 1
- 2