Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Minggu, 18 Mei 2025 | 15:04 WIB
Seorang petani di register 22, resort Way Wayak menunjukan tanaman pinang juga memiliki potensi besar selain kopi/Agus Susanto

SuaraLampung.id - Perjalanan dimulai dari Dermaga Batu Tegi, tempat di mana kabut pagi menyelimuti danau dan semangat para jurnalis mulai menyatu dengan alam—menandai awal petualangan yang tak sekadar menyusuri jejak, tetapi juga menggali makna di balik setiap langkah.

Setelah dua hari penuh menyelami prinsip-prinsip jurnalisme konservasi di ruang kelas, kini para jurnalis peserta pelatihan yang diinisiasi Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memasuki tahap paling menantang: praktik lapangan.

Sebanyak 20 jurnalis bertualang menyusuri jantung konservasi di Lampung.

Dibagi dalam dua kelompok, mereka menyusuri dua jalur cerita yang berbeda namun sama pentingnya. Kelompok pertama bergerak menuju habitat Kukang—primata bermata besar yang kian terdesak oleh alih fungsi hutan.

Baca Juga: Warga Lampung Wajib Tahu! Masuk SMA/SMK Kini Pakai SPMB, Ini 4 Jalur Pendaftarannya

Sementara kelompok kedua menembus hutan lindung register 22 Way Wayak di Kabupaten Tanggamus untuk menelisik kiprah Gapoktan Sumber Makmur, komunitas petani yang berusaha hidup selaras dengan konservasi.

Dalam peluh, lumpur, dan dialog, para jurnalis mencari bukan hanya berita, tapi juga makna dan harapan akan masa depan ekosistem yang terancam.

Pukul 09.00 WIB, kelompok dua tiba di dermaga Batu Tegi. Dua perahu kayu bermesin diesel telah siap menyambut, masing-masing berkapasitas delapan orang.

Dari atas tangga pintu masuk dermaga, tampak Waduk Batu Tegi membentang luas.

Airnya memantulkan warna biru kehijauan, menambah kesan damai meskipun suasana pagi itu diselimuti mendung.

Baca Juga: Lampung Jadi Lumbung PMI: Target Kirim 30 Ribu Pekerja Per Tahun, Ini Strategi Pemerintah

Waduk ini menjadi tumpuan bagi beberapa sungai besar, seperti Way Sekampung, Way Rilau, dan Sungai Sangarus.

Perahu perlahan mengarungi permukaan air waduk.

Di sisi kanan dan kiri, pepohonan dari kawasan hutan lindung Register 22 berdiri tegak pohon ficus, sorea, dan pedang menyambut setiap mata yang memandang.

Kabut tipis menggantung di antara pucuk-pucuk bukit, memberikan kesan mistis namun menenangkan.

Pulau-pulau kecil berbukit dengan balutan rimbun hijau terlihat seperti pulau-pulau tersembunyi dalam dongeng lama.

Cuaca mulai gerimis saat perahu memasuki bagian tengah waduk.

Rintik hujan yang menari di permukaan air membuat suasana semakin syahdu. Atap terpal hitam di atas perahu menjadi pelindung sederhana dari tetesan langit.

Deru mesin diesel yang menggerakkan perahu menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan, di antara hamparan bukit dan tebing di sisi waduk terbesar se-Provinsi Lampung itu.

Sekitar pukul 10.06 WIB, perahu akhirnya merapat di tepi register 22.

Sejumlah sepeda motor tua telah menanti di bibir sungai. Kendaraan ini menjadi alat mobilisasi satu-satunya menuju lokasi Gapoktan Sumber Makmur.

Roda belakang yang dililit rantai menjadi penanda medan berat yang akan dilalui.

Hujan yang mengguyur sejak tadi membuat jalur setapak berubah menjadi kubangan lumpur. Di sisi kanan, jurang menganga menambah adrenalin selama perjalanan.

Dengan kecepatan terbatas dan sesekali harus turun untuk mendorong motor, perjalanan dari tepi sungai ke lokasi Gapoktan berlangsung penuh tantangan.

Namun keindahan alam dan keramahan pengemudi motor membuat semuanya terasa ringan.

Pukul 11.48 WIB, rombongan akhirnya tiba di lokasi.

Udara sejuk khas pegunungan menyambut, disertai senyum hangat dari belasan anggota kelompok tani yang telah menunggu sejak pagi.

Gapoktan Sumber Makmur menjadi pusat kegiatan pertanian dan konservasi masyarakat di wilayah register 22.

Di tempat ini, para jurnalis tak hanya mendengar cerita soal hasil tani, tetapi juga menyerap semangat juang warga dalam menjaga kelestarian alam.

Sebuah pelajaran berharga tentang harmoni antara manusia dan hutan.

Wawan, anggota Kelompok Tani Sumber Makmur, telah melakukan penggarapan lahan selama 10 tahun di kawasan Register 22, Resort Way Wayak.

Pria berusia 36 tahun ini telah menekuni budidaya kopi di lahan garapan milik negara seluas dua hektare selama lebih dari satu dekade.

Saat ditemui Suara.com di lokasi, Wawan mengungkapkan keraguannya terhadap program konservasi yang tengah digencarkan oleh Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI).

Program tersebut mendorong petani untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia dan mulai beralih menggunakan pupuk organik serta menanam tanaman akar tunjang seperti alpukat, pala, pinang, kemiri, dan durian.

"Memang kami sudah mendapat edukasi dari YIARI, tapi saya masih ragu, khususnya untuk mengganti tanaman kopi dengan buah-buahan. Karena saya belum punya pengalaman," ujar Wawan.

Meski demikian, ia tetap mencoba mengikuti anjuran tersebut.

Wawan telah menanam 30 batang alpukat, 30 batang durian, dan 15 batang pala di lahannya.

Namun, seluruh tanaman itu masih berusia di bawah tiga tahun dan belum menghasilkan buah.

Keraguan Wawan bukan tanpa alasan. Ia khawatir jika beralih secara total dari kopi ke tanaman buah, hasil panen tidak maksimal dan harga buah di pasaran tidak stabil. Risiko kerugian pun membayangi.

"Kalau ternyata hasil buahnya tidak sesuai harapan, kami tidak bisa kembali lagi menanam kopi, karena di peraturan program Hutan Kemasyarakatan (HKm), penggarap tidak diperbolehkan menebang pohon dalam kawasan register," jelasnya.

Menurut Wawan, skema ini bisa menjadi jebakan bagi petani jika tidak diikuti dengan pendampingan yang intens dan jaminan pasar.

"Kalau mau ganti kembali ke kopi, kami harus menebang semua tanaman buah, sementara aktivitas penebangan dilarang di sini," tegasnya.

Untuk menghindari risiko besar, Wawan memilih langkah konservatif.

Ia mencoba menanam sekitar 80 batang tanaman akar tunjang sebagai tahap awal. Jika hasilnya memuaskan, ia berencana memperluas penanaman secara bertahap.

"Saya anggap ini proses belajar dulu. Tanam sedikit sambil lihat hasilnya," ujarnya.

Wawan juga menambahkan bahwa untuk pembibitan tanaman akar tunjang, dirinya bersama petani lain tidak perlu membeli bibit dari luar. Mereka telah dibekali pelatihan oleh YIARI untuk membuat bibit secara mandiri.

"Bersama teman-teman, kami sudah diajari cara pembibitan oleh YIARI, jadi tidak perlu beli lagi," tutup Wawan.

Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sumber Makmur, Dayat, menegaskan bahwa dirinya membina sebanyak 18 kelompok tani yang berada di kawasan Register 22, Resort Way Wayak.

Dayat mengisahkan, sejak tahun 2000 hingga 2016, para petani kopi di wilayah tersebut hidup dalam ketakutan. Setiap kedatangan petugas Polisi Kehutanan (Polhut) atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ke lokasi kerap menimbulkan keresahan di kalangan petani.

“Waktu itu kami sadar betul kalau lahan yang digarap masuk kawasan register. Tapi karena ini sudah warisan turun-temurun dari orang tua kami, mau tidak mau kami tetap bertani, meskipun harus kucing-kucingan dengan petugas,” ungkap Dayat.

Situasi mulai berubah saat Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) hadir memberikan pendampingan.

Melalui pendekatan persuasif, para petani mulai teredukasi dan merasa lebih didampingi dalam menjalankan aktivitas bertani.

Menurut Dayat, tonggak perubahan besar terjadi ketika pemerintah mengeluarkan surat keputusan Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada tahun 2017.

Sejak itu, para petani di Resort Way Wayak mulai merasa lebih aman dan nyaman dalam mengelola lahan.

Meski demikian, ada tantangan tersendiri dalam implementasi program HKm. Pemerintah mendorong penanaman tanaman keras berakar tunjang, seperti buah-buahan, sebagai bagian dari komitmen konservasi.

“Secara signifikan kami memang belum sepenuhnya menerapkan penanaman tanaman akar tunjang. Tapi beberapa petani sudah mulai mencoba menanamnya di sela-sela tanaman kopi, menerapkan sistem tumpangsari,” jelas Dayat.

Sebagai Ketua Gapoktan, Dayat terus menjalin kerja sama dengan YIARI untuk memberikan edukasi kepada ratusan petani di wilayah tersebut.

Edukasi yang diberikan mencakup berbagai aspek konservasi, mulai dari penggunaan pupuk organik, teknik pembibitan tanaman berakar tunjang, hingga pembuatan media semai dari anyaman bambu.

“Kami terus berjuang sejak 2017 bersama YIARI untuk menuju konservasi yang maksimal. Memang, menyadarkan para petani butuh waktu,” ujarnya.

Menutup wawancara, Dayat menyampaikan harapannya bahwa Resort Way Wayak ke depan akan menjadi kawasan HKm yang lestari.

Ia yakin, para petani akan semakin siap menerapkan pola tanam berbasis konservasi secara optimal.

Anggota Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), Aji Mandala Putra, yang bertugas dalam pendampingan masyarakat, mengemban tugas penting untuk mengembangkan pola pertanian berbasis konservasi, khususnya di Resort Way Wayak, kawasan Register 22, Tanggamus.

Menurut Aji, awalnya YIARI hanya fokus pada program pelepasliaran Kukang (Nycticebus spp.) ke habitat alaminya di kawasan Register 22, tepatnya di Batu Tegi.

Berdasarkan hasil survei dan kajian, wilayah ini dinilai sebagai habitat yang ideal bagi Kukang. Namun, pelepasliaran satwa tak cukup hanya melepas dan pergi.

"Di kawasan register, khususnya Resort Way Wayak yang dekat dengan zona inti, banyak masyarakat yang masih beraktivitas sebagai petani kopi. Keberadaan mereka bisa menjadi ancaman jika tidak diberikan pendampingan dan edukasi," ujar Aji.

YIARI khawatir tanpa edukasi dan pengawasan, masyarakat justru bisa terlibat dalam praktik perburuan yang membahayakan keberadaan satwa liar, termasuk yang dilindungi di kawasan tersebut.

YIARI dan kelompok tani Sumber makmur diskusi tentang bertani konservasi /Agus Susanto

Sejak awal 2017, YIARI menurunkan tim termasuk Aji Mandala Putra untuk mendampingi para petani kopi di kawasan tersebut.

Seiring waktu, hubungan komunikasi antara petani dan tim YIARI semakin erat.

Berbagai program edukasi mulai diluncurkan.

Salah satunya adalah sekolah lapang yang digelar pada tahun 2022. Sekolah lapang ini fokus pada edukasi pertanian berkelanjutan, terutama dalam hal pembuatan pupuk organik.

“Salah satu petani dari Kelompok Tani Sumber Makmur bahkan sudah menguasai teknik pembuatan pupuk organik. Namanya Sri, dan ia akan menularkan pengetahuannya secara bertahap kepada anggota kelompok lainnya,” kata Aji.

Ia menjelaskan bahwa penggunaan pupuk organik mendukung sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Praktik ini tidak hanya menjaga kesuburan tanah, tetapi juga kelangsungan makhluk hidup dalam ekosistem pertanian.

“Lahan yang mereka garap ini digunakan jangka panjang, bahkan bisa diwariskan kepada anak-anak mereka. Maka penting untuk menerapkan pola bertani yang berkelanjutan, agar tanah dan hutan tetap terjaga,” lanjutnya.

Selain edukasi pertanian, YIARI juga menyalurkan bantuan berupa beberapa ekor kambing kepada kelompok tani. Kotoran kambing tersebut digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan pupuk organik.

YIARI juga mulai mendorong pembibitan dan penanaman tanaman akar tunjang di lahan petani.

Meski saat ini baru percobaan dalam program penanaman akar tunjang tapi Aji optimis kedepan akan maksimal.

“Kami tidak bisa memaksa secara langsung. Pendekatan kami bersifat bertahap, karena petani butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan tanaman jenis baru,” jelas Aji.

Saat ini, tanaman akar tunjang yang ditanam di Resort Way Wayak telah mendekati angka 10 ribu pohon.

Dalam waktu dekat, YIARI akan melakukan pemantauan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan perkembangan tanaman tersebut.

“Target utama kami adalah memastikan hutan tetap lestari, satwa terlindungi, dan petani tetap bisa bertani secara berkelanjutan di kawasan Register 22,” tegas Aji Mandala Putra.

Kepala UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Batu Tegi, Zelli Noorochim, mengungkapkan bahwa kondisi tersebut erat kaitannya dengan kerusakan hutan di bagian hulu.

"Hutan tutupan di wilayah atas, terutama di Resort Way Sekampung, perlu pemulihan. Saat hujan turun, air membawa material tanah karena vegetasi penyangga sudah rusak," ujarnya, Rabu (14/5/2025).

Menurut Zelli, wilayah Register 22 terdiri dari enam resort pengelolaan, yakni Resort Way Wayak, Resort Way Sekampung, Resort Banjaran, Resort Datar Setuju, Resort Batu Lima, dan Resort Ulu Semong.

Dari enam resort tersebut, Resort Way Wayak dinilai memiliki kondisi paling baik.

Hal ini disebabkan meningkatnya kesadaran masyarakat penggarap akan pentingnya konservasi hutan, berkat pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI).

"Pendampingan YIARI berperan penting dalam membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga tutupan hutan," tambah Zelli.

Hutan Register Batu Tegi sendiri memiliki luas mencapai 58.163 hektare. Namun, zona inti yang masih relatif utuh kini tak sampai 7.000 hektare.

Sebagian besar wilayah, sekitar 80 persen dari total luas Register Batu Tegi, sudah dimanfaatkan masyarakat sejak awal 2000-an. Aktivitas penggarapan umumnya berupa budidaya tanaman kopi.

Salah satu kelompok pengelola hutan yang cukup menonjol adalah Gapoktan Sumber Makmur di Resort Way Wayak.

Sejak 2017, kelompok ini telah memperoleh izin pengelolaan melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 1.412 hektare, yang digarap oleh sekitar 800 kepala keluarga.

Kendati masyarakat diperbolehkan memanfaatkan kawasan hutan, pengelolaan harus tetap mempertahankan kelestarian ekosistem.

Eksploitasi hasil kayu tidak diperkenankan, kecuali untuk panen buah dari tanaman yang dibudidayakan.

"Jika mengacu pada aturan dalam program HKm, jenis tanaman yang ditanam haruslah tanaman dengan akar tunjang. Penebangan tidak diperbolehkan, kecuali untuk mengambil hasil buah," jelas Zelli.

Ia juga mengakui bahwa pengelolaan oleh Gapoktan Sumber Makmur sudah menunjukkan kemajuan signifikan. Namun, program konservasi yang dijalankan dinilai masih perlu penguatan agar dampaknya lebih maksimal.

"Secara umum sudah bagus. Tapi setelah kehadiran YIARI, perubahan ke arah konservasi semakin terasa. Meski begitu, konservasinya masih bisa ditingkatkan lagi," pungkas Zelli.

Load More