SuaraLampung.id - Belanda lewat perusahaan dagangnya VOC untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Lampung adalah saat mereka mengirimkan dua buah kapalnya ke Teluk Semangka pada 22 Juni - 10 Juli 1661.
Dikutip dari buku "Sejarah Daerah Lampung", kedatangan VOC ini awalnya hanya bertujuan mencari tempat berlabuh yang lebih baik dan menyempurnakan peta yang pernah dibuat oleh Kaartemaker van de Cone.
Barulah ketika terjadi pergolakan di Banten tahun 1682, VOC mulai ikut campur mengenai Lampung. Di tahun itu, pecah konflik perebutan kekusaan antara Sultan Banten Sultan Ageng Tirtayasa, dengan putra mahkota Sultan Haji.
Sultan Haji yang terdesak meminta bantuan VOC dengan iming-iming berupa penyerahan beberapa daerah yang dikuasai Tirtayasa berikut negeri-negeri lada yang menjadi pasar Banten, termasuk Lampung.
Baca Juga:Strategi Pemprov Lampung Mengembangkan Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Secara Bersamaan
Permintaan bantuan ini termuat dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC dari Betawi yang se-dang berlabuh di Banten, tertanggal 12 Maret 1682.
Merasa diuntungkan dengan penawaran Sultan Haji, tentara VOC mendarat di Banten pada 17 April 1682. Mereka menyerang pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Serangan ini sukses. Mereka menaklukkan pasukan Sultang Ageng Tirtayasa.
Kekalahan Tirtayasa ini membuat Sultan Haji naik tahta di Banten. Sesuai dengan janjinya, Sultan Haji memberikan hak monopoli perdagangan lada ke VOC melalui surat perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 22 Agustus 1682. Sejak itu Belanda secara yuridis mempunyai perdagangan lada di Lampung.
Ekspedisi Koopman Everhard van der Schuur
Pada tanggal 29 Juni 1682, VOC sebenarnya telah bersiap-siap untuk mengirimkan ekspedisi ke Lampung. Mereka meminta penjelasan dari Residen VOC di Banten, Willem Caaf tentang situasi di Lampung.
Baca Juga:Lahan PTPN 7 di Kota Baru Kebakaran, Penyebab Masih Diselidiki
Dipilihlah Koopman Everhard van der Schuur, seorang anggota "Colge van Schepenen" di Batavia, untuk melaksanakan ekspedisi ke Lampung. Koopman dipilih karena pandai berbahasa Melayu. Dia didampingi Onderkoopman Abraham Holscher berikut dua orang duta di Banten.
Pada tanggal 6 Agustus 1682 pagi hari, mereka menerima instruksi dari Gubernur Jenderal, yang isinya:
1.Bahwa setelah Sultan Haji berkuasa, maka VOC berkewajiban untuk melindungi Banten di Sumatra, yaitu Lampung dan Selebar yang terletak antara Kerajaan Palembang dan daerah Mayuta hingga Indrapura;
2. Menguasai perdagangan lada atau menjajagi kemungkinan untuk menguasai perdagangan lada,
3. Apabila sambutan orang Lampung itu baik, maka van der Schuur harus mencari tempat yang baik untuk mengawasi perdagangan merica di Selebar dan Ketahun,
4. Mengusir orang Inggris di Lampung dengan secara ramah-tamah tapi kalau perlu dengan kekerasan.
Ekspedisi van der Schuur berangkat sore hari itu juga dari Batavia. Tanggal 8 Agustus 1682 mereka singgah di Banten untuk melapor kepada Mayor Issac de Saint Martin dan Rad van Banten.
Mereka menerima suatu nota tentang Lampung yang yang disusun Koopman Herbertus de Jager berisi tentang keadaan geografi, ekonomi, pemerintahan dan penduduk Lampung pada waktu itu abad ke XVII.
Baru pada tanggal 24 Agustus 1682, tim ekspedisi berangkat dari Banten ke Lampung menggunakan kapal-kapal VOC yang bernama De Alexander, Odijk, dan De Schmit.
Kapal-kapal ini mengangkut dua kompi tentara dan orang banyak lainnya. Dalam tim ekspedisi ini, ikut serta rombongan Sultan Haji yang dipimpin Pangeran Natanegara dan Arya Wangsayudha.
Sultan Haji juga memberangkatkan empat buah kapal Kesultanan yang membawa dua puluh tiga surat instruksi, di mana antara lain Pangeran Dipaningrat (Pangeran Puja Banten) ditujukan kepada pembesar dan Mahkota Selebar.
Satu surat dari Pangeran Dipanigrat kepada Pangeran Purba Negara, Kepala di Semangka dan dua puluh surat lainnya juga dari Pangeran Dipaningrat kepada pembesar lainnya. Surat dari Sultan Haji itu berisi pemberitahuan bahwa VOC sudah diberikan hak monopoli perdagangan merica.
Rombongan kapal VOC ini sampai di Lampung pada tanggal 29 Agustus 1682 dan berlabuh di Desa Tajung Tiran. Van der Schuur awalnya melakukan perundingan dengan penduduk desa ini, tetapi tidak berhasil.
Keesokan harinya, rombongan kapal VOC dan Banten ini meneruskan pelayaran ke Teluk Semangka dan membuang sauh di Karang Kandang, sebuah pos bea cukai Banten.
Di sinipun penduduk tidak mengulurkan tangan kepada VOC bahkan banyak yang mau mengungsi. Rupanya keadaan politik di Ban- ten mempunyai pengaruh yang besar di Lampung. Ternyata sebagian besar penduduk Lampung masih memihak Sultan Ageng Tirtayasa.
Hal ini bukanlah tidak ada sebabnya.Pada bulan Juli 1682, Sultan Ageng Tirtayasa pernah mengirimkan delapan pencalang ke Lampung. Tugasnya mengadakan mobilisasi umum untuk meneruskan perang melawan Sultan Haji dan mendirikan gudang lada di Lampung. Sultan Ageng Tirtayasa sudah berniat menjadikan Lampung sebagai basis perjuangannya yang baru. Namun keburu kalah.
Di Lampung sendiri sudah ada yang memihak Sultan Haji dan VOC. Diantaranya Jenang Raja Ngembar yang baru saja menduduki tahta/jabatan di Semangka menggantikan pamannya Pangeran Purbanegara.
Karena itu Sultan Ageng Tirtayasa memberikan instruksi kepada Kepala Menaran Aria Suryajaya untuk menangkap atau membunuh Raja Ngembar.
Arya Suryajaya melaksanakan instruksi ini dan bekerjsama dengan empat puluh pencalang dengan kekuatan bersenjata yang terdiri dari pejuang-pejuang dari Merak, Jo, Pangkal, Rajabasa, Telukbong Keteguhan, Menanga Ratai, dan Pedada, desa-desa di daerah Lampung Pesisir Teluk Betung.
Arya Surajaya berhasil menangkap Raja Ngembar, Dipati-dipati beserta anak buahnya sejumlah dua ribu orang dan bermaksud membawa ke Banten.
Tetapi karena mendengar kabar tentang berlabuhnya kapal-kapal VOC di Karang Kandang, ia membatalkan pelayarannya yang semula telah dilakukannya. Raja Ngembar ditinggalkan di Pulau Legundi dan Arya Surajaya berlayar ke Teluk Betung dan terus ke pedalaman.
V.d. Schuur tidak mengejar Arya Surajaya, tetapi berlayar ke kampung Ratai di Teluk Sabu, setelah mendapat kabar bahwa di sana ada perahu Silebar penuh dengan muatan lada.
Waktu itu rakyat Silebar banyak menyembunyikan kapal-kapal yang bermuatan lada di tepi-tepi pantai atau anak-anak sungai di hutan dan semak-semak. Ini bertujuan menghindari VOC.
Muara sungai tempat bersembunyi itu lalu diberi berpagar sebagai penghalang dan juga dengan kapal perang kecil, berkekuatan empat puluh buah dengan seribu dua ratus pasukan yang antara lain bersenjatakan pula dua ratus bedil di bawah komando Nakhoda Kalipa dan Panjang.
Menghadapi kenyataan ini lalu VOC menggunakan taktik diplomasi. Mereka mengirimkan seorang ulama bernama Tuang Mansyur dengan tugas membujuk orang-orang Lampung dan Selebar. Tuan Mansyur berhasil, sehingga orang Lampung dan Silebar itu mau menjual hasil ladanya kepada VOC. Harganya waktu itu sebelas ringgit tiap bahar.
Dapat dikatakan ekspedisi Van der Schuur gagal menjalankan tugasnya. Di Lampung mereka tidak mendapat sambutan yang baik dan tidak dapat menguasai perdagangan lada, apalagi mendirikan benteng. Ketika pada tanggal 21 November 1682 mereka pulang ke Jawa, kapal-kapal mereka hanya memuat 744.188 ton dengan harga F 62 292,312.