Kalah Tender, Kontraktor Ngadu ke Wakil Ketua KPK

Kepada Wakil Ketua KPK Marwata, kontraktor mengaku sudah menawar dengan harga terendah namun masih kalah

Wakos Reza Gautama
Kamis, 07 Oktober 2021 | 12:35 WIB
Kalah Tender, Kontraktor Ngadu ke Wakil Ketua KPK
Ilustrasi Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Marwata cerita mendapat pesan dari kontraktor yang kalah tender proyek pemerintah. [Suara.com/Welly]

SuaraLampung.id - Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pernah mendapat pesan dari seorang kontraktor yang kalah dalam lelang proyek di pemerintahan. 

Kepada Wakil Ketua KPK Marwata, kontraktor tersebut mengaku sudah menawar dengan harga terendah namun masih kalah tender proyek pemerintah.

"Saya dapat pesan 'whatsapp' dari salah satu peserta lelang di daerah, dia mengaku menawar harga paling rendah tapi tidak menang lelang," kata Alexander di Jakarta, Rabu (6/10/2021) dikutip dari ANTARA.

Marwata mengungkapkan alasan dari penilaian panitia pengadaan adalah harga penawaran dianggap tidak wajar karena dia menawar 80 persen di bawah HPS (Harga Perhitungan Sendiri) dan ada 4 perusahaan penawar dengan harga penawaran di bawah 80 persen HPS tapi yang menang di urutan ke-5 yang harganya Rp1,5 miliar lebih mahal dibanding harga terendah.

Baca Juga:Kasus Dana Hibah Kolaka Timur, KPK Panggil Deputi Logistik dan Peralatan BNPB

Hal tersebut disampaikan wakil ketua KPK ini dalam diskusi virtual Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) berjudul "Cegah Korupsi di Pengadaan Jasa Konstruksi".

"Nilai Rp1,5 miliar tersebut adalah sekitar 15 persen dari HPS atau senilai Rp9 miliar. Padahal berdasarkan pengalaman KPK, proses pengadaan barang dan jasa kerap ada permintaan 'fee' 5-15 persen. Saya tidak tahu apakah selisih Rp1,5 miliar itu untuk menanggulangi 'fee' 15 persen," tambah Marwata.

Ia mengaku sudah minta koordinator wilayah (korwil) KPK untuk mendalami kenapa 4 penawaran terendah dianggap tidak wajar oleh panitia.

"Saya sudah tanya kepada penawar ini apakah dengan harga terendah itu sudah untung? Dia jawab 'Sudah Pak, sudah memperhitungkan keuntungan 15 persen tapi memang tidak menghitung pemberian 'fee' ke pejabat, jadi murni keuntungan 15 persen perusahaan sehingga bisa menawar di 80 persen di bawah HPS'," ungkap Marwata.

Dalam kondisi tersebut, Marwata menilai tidak tertutup kemungkinan ada banyak perusahaan rekanan konstruksi yang menambahkan biaya "fee" 5-15 persen di luar keuntungan yang diperoleh sebagai penawaran lelang.

Baca Juga:Desak Usut soal Bekingan Azis, Eks Jubir KPK: Bekerjalah dengan Benar Bapak-Ibu Dewas!

"Ini fakta-fakta yang sering diungkap KPK saat melakukan penindakan perkara suap di bidang konstruksi," tambah Marwata.

Menurut dia, kejadian itu mengkhawatirkan karena anggaran pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan infrastruktur berjumlah besar, khususnya di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yaitu Rp119 triliun (2019), Rp120 triliun (2020) dan Rp150 (2021) dengan realisasi anggaran rata-rata Rp87 triliun.

"Ada anggaran yang sangat besar dikucurkan untuk infrastruktur, namun ketika ada korupsi maka percepatan pembangunan tidak optimal dan akan berdampak pada kualitas pekerjaan yang diadakan," ungkap Marwata.

Deputi Pencegahan KPK sekaligus Koordinator Pelaksana Stranas PK Pahala Nainggolan dalam acara tersebut mengatakan bahwa sejak 2004 - Juni 2021, KPK menangani 241 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.

"Memang kasus korupsinya 241 perkara, yang paling besar masih penyuapan yaitu 761 perkara tapi dari perkara-perkara penyuapan itu, penyuapannya juga terbanyak terkait pengadaan barang dan jasa jadi pengadaan barang dan jasa masih menjadi juara pertama kasus di KPK, lebih spesifiknya pengadaan konstruksi," kata Pahala.

Saat pandemi COVID-19 yaitu pada 2020 hingga Juni 2021, KPK menangani kasus korupsi terkait pengadaan konstruksi sebanyak 36 kasus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini