Bagaimana Cara Membuktikan Santet? Ini Kata Para Ahli Hukum

santet adalah ilmu hitam yang tak kasat mata dan sulit dibuktikan secara ilmiah.

Wakos Reza Gautama
Rabu, 23 Juni 2021 | 13:30 WIB
Bagaimana Cara Membuktikan Santet? Ini Kata Para Ahli Hukum
Ilustasi Guru Besar Hukum Unbor Jakarta Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. Faisal Santiago bicara mengenai pembuktian santet. [ANTARA/Dokumentasi Pribadi]

Di dalam Pasal 252 Ayat (1) disebutkan setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta).

Jika setiap orang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (vide Ayat 2).

Selanjutnya, disebutkan dalam penjelasan Pasal 252 RUU KUHP bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.

Dijelaskan pula bahwa ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).

Baca Juga:Masuk dalam RUU KUHP, Guru Besar Ini Sebut Ilmu Santet Antara Ada dan Tiada

Jawade Hafidz menegaskan bahwa pasal tersebut subjektif dan obscure karena tafsirannya sangat bergantung pada cara pandang masing-masing.

Menyinggung soal pembuktian terhadap pelanggar pasal santet, dia mengutarakan bahwa hingga sekarang belum ada alat ukur untuk bisa membuktikan praktik-praktik semacam itu.

Ia lantas menyebutkan ketentuan di dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang lima alat bukti yang menjadi dasar untuk membuktikan perbuatan seseorang melakukan tindak pidana masih sumir dan debatable (belum pasti).

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 184 Ayat (1) disebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. (ANTARA)

Baca Juga:Dianggap Tak Jelas dan Subjektif, Pasal Santet di RUU KUHP Perlu Dikaji Ulang

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini