Barisan Jenderal Gagal Kudeta Golkar dari Tangan Soeharto

ada barisan para jenderal yang hendak mengambil alih atau kudeta Golkar dari tangan Presiden Soeharto.

Wakos Reza Gautama
Rabu, 03 Februari 2021 | 11:49 WIB
Barisan Jenderal Gagal Kudeta Golkar dari Tangan Soeharto
Presiden Soeharto sedang menyapa warga. Barisan jenderal ABRI pernah ingin mengkudeta Golkar dari tangan Presiden Soeharto (Twitter/@tommy_soeharto_)

SuaraLampung.id - Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyatakan ada upaya kudeta terhadap kepemimpinannya di Partai Demokrat. 

AHY mengatakan, ada 5 tokoh yang hendak mengambil alih Partai Demokrat. Lima tokoh itu gabungan dari kader internal Demokrat dan melibatkan pejabat tinggi pemerintahan. 

"Gabungan dari pelaku gerakan ini ada 5 orang terdiri dari 1 kader Demokrat aktif, 1 kader yang sudah 6 tahun tidak aktif, 1 mantan kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat dari partai karena menjalani hukuman akibat korupsi, dan 1 mantan kader yang telah keluar dari partai 3 tahun lalu," kata AHY, Senin (1/2/2021).

Isu kudeta di partai politik juga pernah terjadi di tubuh Golkar di tahun 1983. Saat itu Golkar memang belum berbentuk partai politik. Namun Golkar adalah salah satu peserta pemilu bersama dua partai lain. 

Baca Juga:Isu Kudeta AHY, Moeldoko Disebut Biayai Tiket hingga Makan Kader Demokrat

Kisah kudeta di tubuh Golkar ini diceritakan dalam buku berjudul "Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto" karya Salim Said. 

Di dalam buku itu diceritakan ada barisan para jenderal yang hendak mengambil alih Golkar dari tangan Presiden Soeharto. Para jenderal itu dipimpin Panglima ABRI saat itu Jenderal Edi Sudrajat. 

Gerakan ini didukung para purnawirawan seperti Sumitro dan kelompok Benny Moerdani. Keinginan ABRI menguasai Golkar untuk mencegah Wakil Presiden Sudharmono menjadi Presiden. 

"Pihak ABRI bertekad menguasai Golkar guna mencegah apa yang mereka cemaskan sebagai kemungkinan Sudharmono menggunakannya sebagai tangga untuk naik ke kursi Presiden lewat pemilu berikutnya. Tapi sebenarnya, disadari atau tidak, tekad dan langkah para jenderal tersebut juga bertujuan secara perlahan membatasi gerak Soeharto," tulis Salim Said. 

Ketidaksukaan para petinggi ABRI terhadap Sudharmono yang juga pensiunan tentara itu karena Sudharmono diduga adalah orang beraliran merah alias komunis. 

Baca Juga:Kudeta Demokrat dan AHY, Rocky Gerung: Pembuka Tokoh Menuju Pilpres 2024

Maka menjelang Munas Golkar di tahun 1983, pimpinan ABRI menempatkan para perwiranya pada posisi hampir semua ketua Golkar di wilayah. 

Pimpinan ABRI sudah menyiapkan Letjen Susilo Sudarman sebagai Ketua Umum Golkar menggantikan Letjen (Purn) Wahono. 

Sementara Soeharto sudah memiliki calon yaitu seorang wartawan bernama Harmoko. Upaya para jenderal ini gagal. Harmoko lah yang terpilh menjadi Ketua Umum Golkar. 

Ternyata mayoritas perwira ABRI tidak suka dengan Harmoko. "Tidak usah ditanya. Semua ABRI tidak suka Harmoko," kata Jenderal (Purn) Sumitro.

Gagal 'mengkudeta' Golkar, para jenderal ini tidak tinggal diam. Beberapa waktu kemudian kantor Golkar di Slipi diobrak-abrik orang tak dikenal.   

Faktor lain yang membuat ABRI ingin kembali menguasai Golkar karena Soeharto yang mulai memberi porsi terhadap tokoh sipil di Golkar. 

Saat Sudharmono memimpin Golkar, Soeharto menunjuk langsung Sarwono Kusumatmadja sebagai Sekjen Golkar. Selain Sarwono ada tokoh-tokoh sipil lain yang menduduki posisi strategis di Golkar. Mereka adalah Akbar Tanjung, Siswono Yudhohusodo, Fahmi Idris, Rahmat Witoelar.

Hal ini yang membuat para petinggi ABRI tidak senang. "Moerdani dan para jenderal aktif maupun purnawirawan tidak senang melihat langkah Soeharto mensipilkan Golkar," tulis Salim Said.  

Benny Moerdani, Edi Sudrajat, Try Sutrisno dan para jenderal pimpinan ABRI tidak senang melihat langkah Soeharto mengarahkan Golkar bergerak makin independen dari ABRI. 

Para jenderal itu tetap ingin ABRI mengontrol kekuasaan dan mereka juga tidak percaya dengan kemampuan politisi sipil.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini