SuaraLampung.id - Alex Evert Kawilarang, adalah salah satu pejuang Indonesia di masa revolusi. Ia dikenal sebagai tentara yang disegani lawan maupun kawan.
Kawilarang adalah orang yang pertama mendirikan pasukan komando di Angkatan Darat. Pasukan komando ini ia bentuk saat menjadi Panglima Teritorium Siliwangi.
Pasukan komando itu ia beri nama Kesatuan Komando Teritorium III disingkat Koter III dengan kekuatan satu kompi.
Inilah cikal bakal terbentuknya Komando Pasukan Khusus (Kopassus) seperti yang dikenal saat ini.
Baca Juga:Kasus Positif Covid-19 di Lampung Tembus Angka 8 Ribu
Kawilarang memiliki jejak sejarah di tanah Lampung. Selama berada di Lampung, Kawilarang mengalami penyiksaan.
Tanah Lampung bagaikan 'neraka' bagi bapak perintis Kopassus ini.
Jejak Kawilarang di tanah Lampung diceritakan dalam buku berjudul "AE Kawilarang Untuk Sang Merah Putih" karya Ramadhan KH yang terbit tahun 1988.
Dalam buku itu diceritakan, kehidupan Kawilarang saat pendudukan Jepang. Kawilarang pernah bekerja di pabrik minyak di Sungai Gerong, Plaju, Sumatera Selatan.
Kawilarang bekerja sebagai penerjemah surat-surat dalam bahasa Inggris. Di tempat itu, Kawilarang tak betah.
Baca Juga:Pembelaan Tim Eva-Deddy Soal Bansos Covid-19 Dijadikan Modus Pemenangan
Ia tak tahan melihat penderitaan para pekerja yang disiksa serdadu Jepang. Kawilarang memutuskan mundur dari pekerjaannya itu.
Ia lalu ke Lampung hendak pulang ke Jakarta. Namun apa mau dikata. Penyeberangan ke Pulau Jawa ditiadakan.
Jadilah Kawilarang terkatung-katung di tanah Lampung. Di Lampung, Kawilarang mencari pekerjaan untuk bertahan hidup.
Kawilarang menetap di Tanjung Karang. Ia menumpang di rumah keluarga Dokter Pesik. Di Lampung, Kawilarang bekerja di pabrik karet vulkanisir Kedaton.
Selama di Lampung, ia mendengar desas-desus akan adanya penangkapan terhadap orang –orang Indo, Ambon, dan Manado.
Kawilarang adalah pria keturunan Manado. Desas-desus menyebutkan orang-orang Indo, Ambon dan Manado adalah orang yang ada di pihak Belanda.
November 1943, hari masih pagi buta. Kawilarang ditangkap Kenpei, polisi militer Jepang saat sedang tidur.
Ia dibawa ke penjara. Penjara itu berisi orang-orang Manado, Ambon, Indo, tahanan kriminal dan tahanan politik.
“Ada juga bekas residen Lampung Meindersma dan Kepala Polisi Lampung ikut ditangkap,” kata Kawilarang.
Kawilarang ditempatkan di dalam sel kecil bersama seorang petani Indo. Sel itu dipenuhi kutu busuk yang membuat Kawilarang tak bisa tidur.
Mereka hanya boleh mandi pada sore hari. Itu dengan kondisi kamar kecil yang sangat kotor. Tiga minggu pertama, Kawilarang tak diapa-apakan.
Setelahnya, ia dibawa ke ruangan pemeriksan Kenpeitai. Kawilarang duduk dengan posisi di atas betis dan tumit.
“Kamu tahu mengapa kamu ditahan disini?” tanya Kenpei.
“Tidak,” jawab Kawilarang polos.
“Kamu mata-mata sekutu yah?” tuding Kenpei.
Kawilarang menggelengkan kepala.
“Bohong!” bentak si Kenpei. “Kamu pernah jadi tentara Belanda ya?” desaknya.
“Tidak,” ujar Kawilarang berbohong.
Kawilarang sebenarnya pernah menjalani pelatihan militer Belanda.
Selama pemeriksaan Kawilarang mengalami siksaan. Kepala dan lengannya disundut rokok. Pundaknya dipukul menggunakan tali pinggang si kenpei.
Ia lalu dibawa ke tiang yang ada talinya. Tangannya diikat ke belakang menggunakan tali lalu ditarik ke atas.
Tubuh Kawilarang menggantung di tiang. Kenpei lalu memukul tubuh Kawilarang menggunakan tongkat.
Siksaan ini berlangsung selama tiga jam. Pada saat bersamaan, Kawilarang juga menyaksikan penyiksaan terhadap orang lain di sebelahnya.
Setelah itu Kawilarang diperbolehkan keluar. Kawilarang melanjutkan pekerjaannya d pabrik karet vulkanisir.
Ternyata siksaan itu belum berakhir. Juni 1944, kabar adanya razia terhadap orang Ambon, Manado dan Indo kembali terdengar.
Kali ini yang menggelar razia adalah Keimubu, polisi Jepang. Saat sedang bekerja, Kawilarang didatangi anggota Keimubu.
“Ya kamu,” kata anggota Keimubu menunjuk Kawilarang.
“Saya?” tanya Kawilarang. “Untuk apa?”
“Tidak perlu tanya,” jawabnya. “Ikut saya”.
Kawilarang meminta izin pulang ke rumah terlebih dahulu. Anggota Keimebu membolehkan dengan pengawalannya.
Sampai di rumah, Kawilarang mengganti pakaiannya. Ia memakai pakaian berlapis-lapis. Tujuannya agar tubuhnya tidak terlalu merasakan sakit saat mengalami siksaan.
Kawilarang dibawa ke asrama Polisi Tanjung Karang. Di tempat itu, ia dimasukkan ke dalam sel kecil berukuran 1x2 meter.
Di sel itu hanya ada satu lobang untuk mengintip keluar. Petugas Keimebu menyuruh Kawilarang membuka pakaiannya.
Jadilah Kawilarang hanya mengenakan singlet dan celana pendek selama di dalam sel. Di kamar sel sebelah kiri dan kanannya diisi orang Manado juga.
Orang di sebelah kiri lalu dibawa untuk diperiksa pertama kalinya. Setelah dibawa, orang itu tak juga kembali ke kamar selnya. Belakangan diketahui orang itu meninggal saat menjalani pemeriksaan.
Tiba giliran Kawilarang. Ia diperiksa dan dituduh sebagai mata-mata sekutu. Ia pun kembali mengalami penyiksaan.
Tangan, kaki, paha,punggung dan dadanya diikat tali lalu dikerek. Kawilarang ditelentangkan. Dalam posisi itu ia dipukuli, diinjak dan ditempeleng.
Mulut dan hidungnya disumpal handuk. Lalu air dituangkan ke dalam mulutnya. Selama tujuh jam Kawilarang mengalami penyiksaan itu.
Kawilarang menjalani penahanan selama 40 hari. Selama 40 hari di dalam tahanan, ia diperiksa 17 kali. Setiap kali diperiksa, pasti mengalami penyiksaan seperti itu.
Akhirnya setelah 40 hari, ia dibebaskan. Beruntung pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu.
Kawilarang memutuskan nyeberang ke Pulau Jawa pada 8 Oktober 1945.