SuaraLampung.id - Minimnya porsi pemberitaan isu lingkungan dan nasib satwa liar di media arus utama menjadi kegelisahan yang tak lagi bisa diabaikan.
Atas dasar itulah, Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung menggelar sebuah pelatihan jurnalistik yang tak biasa—khusus membahas konservasi dan perlindungan satwa, khususnya Kukang.
Bertempat di Bandar Lampung, Selasa (13/5/2025), pelatihan ini menghadirkan 20 jurnalis dari berbagai platform media, dengan satu tujuan membangkitkan kepekaan terhadap krisis ekologis yang kian nyata namun sering kali luput dari sorotan redaksi.
Dalam pelatihan ini, perhatian tertuju pada satu makhluk mungil yang kerap luput dari sorotan media: Kukang.
Baca Juga:Bulog "Tidur", Petani Jagung Lampung Timur Gigit Jari: Harga Anjlok, Jagung Membusuk
Manajer Program Resiliensi Habitat YIARI, Aris Hidayat, menjelaskan bahwa Kukang kini menghadapi berbagai ancaman, salah satunya dari jaringan kabel listrik yang kerap menjadi penyebab kematian satwa tersebut.
"Kukang banyak mati karena tersengat listrik saat berpindah antar pohon," ujar Aris.
Menurut Aris, jurnalis memegang peranan strategis dalam kampanye penyelamatan Kukang.
Ia mendorong agar para jurnalis menyajikan pemberitaan yang mendalam dan tidak hanya fokus pada sensasi.
"Perlu ada keseimbangan dalam pemberitaan. Isu lingkungan harus dikedepankan," katanya.
Baca Juga:Tips Memilih Hewan Kurban di Idul Adha 2025
Satwa nokturnal yang bergerak perlahan ini, Kukang, mungkin tampak jinak dan tak mencolok, namun keberadaannya memegang peran vital dalam menjaga keseimbangan rantai ekosistem hutan.
Kukang menjadi penjaga alami bagi populasi serangga dan tumbuhan, serta penanda kesehatan habitat hutan tropis.
Ironisnya, satwa mungil ini justru semakin terpinggirkan oleh perburuan liar, perdagangan ilegal, dan rusaknya habitat akibat alih fungsi lahan.
Dalam pelatihan yang digelar YIARI dan AJI Bandar Lampung, para jurnalis tidak hanya dibekali keterampilan teknis liputan, tetapi juga diajak menumbuhkan empati dan kepedulian yang lebih dalam terhadap makhluk-makhluk yang tak bersuara seperti Kukang.
Jurnalisme diharapkan mampu menjadi jembatan antara dunia satwa liar dan kesadaran publik.
Lewat tulisan, foto, atau video, para jurnalis didorong untuk tidak hanya memberitakan derita Kukang sebagai data semata, tetapi menjadikannya cerita yang menggerakkan—cerita yang menyentuh nurani, membangun kesadaran, dan memicu aksi nyata.
Karena suara Kukang tak akan pernah terdengar jika tak ada yang bersedia menyuarakannya.
Ia mencontohkan peliputan konflik antara manusia dan harimau di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
"Isu yang diangkat kadang melebar, tidak fokus pada akar masalah yaitu kerusakan habitat dan konflik ruang hidup," jelasnya.
Sementara itu, Hendri Sihaloho, salah satu narasumber dalam pelatihan, menegaskan urgensi pendekatan jurnalisme konservasi di tengah derasnya arus informasi yang kerap mengabaikan isu-isu lingkungan.

Menurutnya, jurnalis tidak cukup hanya menjadi penyampai fakta, tetapi harus berani berpihak—berpihak pada kelestarian alam, pada suara-suara yang tak terdengar seperti jeritan hutan yang ditebang atau kehidupan satwa yang terusir.
“Jurnalisme bukan hanya soal netralitas, tapi juga soal keberpihakan pada masa depan,” tegas Hendri.
Ia mendorong para jurnalis untuk menggali lebih dalam, mencari akar persoalan lingkungan, dan menuliskannya dengan nurani, bukan sekadar mengejar sensasi atau kecepatan.
Dalam pandangannya, keberanian seorang jurnalis dalam menyuarakan krisis ekologi dapat menjadi pemantik kesadaran publik dan bahkan memengaruhi arah kebijakan.
"Jurnalis harus mampu mempengaruhi arah kebijakan publik lewat tulisannya. Jangan hanya berhenti pada peliputan," ujar Hendri yang dikenal sebagai pegiat media lingkungan.
Ketua AJI Bandar Lampung, Dian Wahyu Kusuma, berharap pelatihan ini bisa memberi dampak nyata. "Kami ingin para jurnalis yang ikut mampu menyuarakan isu lingkungan secara berkelanjutan," ucap Dian.
Sebagai tindak lanjut, pada Rabu (14/5/2025), seluruh peserta pelatihan dijadwalkan untuk turun langsung ke lokasi konservasi Kukang di wilayah Kabupaten Tanggamus.
Mereka juga akan menemui kelompok tani hutan yang selama ini terlibat dalam pelestarian kawasan hutan.
Langkah ini bertujuan agar jurnalis tak hanya menulis dari balik meja, tapi benar-benar memahami persoalan lingkungan dari lapangan dan narasumber langsung.
AJI dan YIARI berharap, ke depan akan lebih banyak berita lingkungan yang informatif dan menggugah kesadaran publik.
Kontributor : Agus Susanto