Nasib Petani Penggarap Anak Tuha yang Tergusur

Ahmad menggarap lahan seluas 3 hektare di lokasi menjadi objek sengketa itu sejak tahun 2020 lalu dengan sistem sewa

Wakos Reza Gautama
Sabtu, 30 September 2023 | 07:10 WIB
Nasib Petani Penggarap Anak Tuha yang Tergusur
Mobil traktor milik PT BSA membersihkan tanaman petani penggarap di lahan sengketa di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah. [Suaralampung.id/Agus Susanto]

SuaraLampung.id - Petani penggarap menjadi pihak paling dirugikan dari konflik lahan dengan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah. Sudah membayar uang sewa, mereka kini harus terusir dari lahan garapannya.

Pemandangan tak biasa terlihat di ladang singkong di wilayah Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah, Sabtu (23/9/2023) lalu. Ratusan polisi berjaga menyebar di setiap sudut. Beberapa kendaraan taktis mobil Sabhara terparkir di ruas jalan utama. Sepeda motor dinas polisi juga lalu lalang melakukan patroli.

Di tengah ladang, sejumlah pria mengayunkan golok untuk memisah singkong dari batangnya ditemani truk truk terparkir mengantre untuk memuat singkong yang sudah dicabut dari ladang.

Sementara seorang pria paruh baya dengan mengenakan topi bulat duduk di sebuah gubuk mengamati para buruh tani bekerja. Hari itu, Ahmad, warga Kecamatan Anak Tuha, sedang mengawasi proses panen singkong di atas lahan konflik itu.

Baca Juga:Hasil Pemeriksaan Propam Polda Lampung terhadap Polisi yang Injak Kepala Warga di Lampung Tengah: Karena Reflek

"Sidang belum selesai masih tahap mediasi tapi herannya kenapa sudah digusur," kata Ahmad saat ditemui di lokasi lahannya, Minggu (24/9/2023).

Pernyataan Ahmad ini merujuk pada sidang gugatan perdata yang diajukan Masyarakat Adat Marga Anak Tuha di Pengadilan Negeri Gunung Sugih. 

Petani singkong memanen tanamannya di lahan sengketa di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah. [Suaralampung.id/Agus Susanto]
Petani singkong memanen tanamannya di lahan sengketa di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah. [Suaralampung.id/Agus Susanto]

Warga menggugat PT BSA, Menteri ATR/BPN, dan Bupati Lampung Tengah. Para penggugat atas nama Ahmad Syafruddin, M. Subir, dan Riduan.

Pada petitumnya penggugat meminta majelis hakim menyatakan HGU atas 807 ha lahan atas nama PT BSA adalah cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Mereka juga meminta tergugat I (PT BSA) mengganti kerugian moriil dan materiil senilai Rp6,1 miliar.

Baca Juga:Viral Video Polisi Injak Kepala Warga, Kapolres Lampung Tengah Meminta Maaf

Tidak hanya itu, majelis hakim diminta untuk menghukum Tergugat II yakni Menteri ATR/BPN untuk mencoret sertifikat HGU PT BSA, serta Tergugat III untuk membentuk tim ulang pemeriksaan ulang SHGU PT BSA.

Menurut Ahmad, seharusnya penggusuran dilakukan setelah adanya penetapan dari pengadilan.  Apalagi kata dia, Bupati Lampung Tengah telah menerbitkan SK yang isinya membentuk tim mediasi.

Di dalam surat tersebut, kata Ahmad,  tidak ada poin tentang penggusuran lahan petani penggarap. Sehingga Ahmad tidak memahami dasar penggusuran tersebut.

"Kami tidak tahu penggusuran ini yang tanggung jawab siapa, yang menyuruh siapa, Bupati atau Kapolda ya kami tidak tahu," terang Ahmad.

Ahmad menggarap lahan seluas 3 hektare di lokasi menjadi objek sengketa itu sejak tahun 2020 lalu dengan sistem sewa. Namun Ahmad enggan menyebut kepada siapa dia menyewa lahan tersebut.

Lahan itu ia tanami singkong. Ketika penggusuran terjadi pada Kamis (21/9/2023) lalu, singkong miliknya masih berusia 5 bulan. Tapi Ahmad terpaksa memanen dini singkongnya karena sudah terusir dari lahan garapannya itu.

" Singkong saya terpaksa saya panen dini, seharusnya usia 8 bulan ini baru 5 bulan karena adanya penggusuran yang dilakukan dari pihak perusahaan," tegas Ahmad.

Ahmad pesimis mendapat tali asih dari PT BSA sebab syarat mendapatkannya harus tanaman yang belum bisa dipanen sementara ia sudah memanen singkong walau belum waktunya.  

"Tapi seharusnya kami dapat tali asih karena panen kami belum waktunya. Kalau dibilang rugi ya rugi. Singkong masih muda belum ada harganya tidak sesuai dengan modal tanam dan panen," kata dia.

Bagi Ahmad persoalan lahan ini belum selesai karena belum ada keputusan dari pengadilan mengenai siapa yang berhak menggarap lahan tersebut.

"Kalau seandainya nanti pengadilan menegaskan bahwa yang layak menggarap perusahaan ya saya legowo saya patuh hukum. Entah kalau yang lainnya. Begitu sebaliknya kalau pengadilan menegaskan masyarakat yang wajib garap, saya akan garap kembali," tutup Ahmad.

Senada diungkapkan petani penggarap inisial AK. Ia mengaku memiliki garapan seluas 3 hektare lebih. Sampai saat ini lahan garapan miliknya ditumbuhi singkong yang baru berusia 4 bulan.

"Saya garap di sini bukan tanpa modal. Lahan saya sewa, tanam menggunakan modal, ini belum mendapatkan hasil sudah dibajak pihak perusahaan," kata AK.

Ketika dimintai keterangan terkait biaya sewa lahan dan kepada siapa dirinya menyewa, AK enggan memberikan keterangan lebih detail. Dirinya menyadari lahan garapan tersebut tidak memiliki legalitas kepemilikan surat.

"Saya petani yang tidak tau apa apa, ketika ada yang menawari sewa lahan dan lokasinya strategis saya ambil saja, sementara banyak rekan-rekan yang menyewa juga," kata AK.

Beda dengan Prayitno yang menggarap lahan seluas 1,5 hektare. Status lahannya memiliki sertifikat. Karena tanamannya ikut terdampak, Prayitno mendatangi posko POKJA yang dibentuk PT BSA untuk mendapatkan ganti rugi.

Petani 45 tahun itu meminta agar pihak perusahaan bertanggung jawab memberi ganti rugi bukan tali asih karena lahan miliknya legal dengan bukti kepemilikan pribadi.

"Belum tahu berapa ganti ruginya karena saat saya ke posko POKJA baru dimintai keterangan saja dan akan dilaporkan kepada pimpinan perusahaan," jelas Prayitno.

Membuka Posko Pokja

Pada Sabtu (23/9/2023), kantor Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, dijaga ketat aparat kepolisian. Di depan kantor camat terpasang banner yang bertuliskan "Himbauan kepada masyarakat yang mempunyai tanam tumbuh di lahan perkebunan PT BSA, di Kampung Aji Tua, Kampung Aji Baru dan Bumi Aji, Kecamatan Anak Tuha agar mendaftarkan diri di posko Pokja agar mendapatkan tali asih".

Pukul 10.00, tiga orang mengendarai sepeda motor berhenti tepat di depan kantor Kecamatan Anak Tuha. Usai memarkirkan sepeda motornya, seorang pria mengambil sesuatu dari balik jaketnya.

Dari balik jaket, terlihat sebuah kertas menyerupai buku berwarna hijau dalam genggamannya. Pria yang diketahui bernama Rusmanto berjalan pelan masuk ke dalam kantor kecamatan.

"Mau daftar tali asih atau mau apa bapak?" tanya seorang yang berjaga di posko Pokja tersebut.

"Tidak pak, saya ke sini ingin mempertahankan lahan saya, agar tidak kena serobot perusahaan,"jawab Rusmanto sambil menyodorkan sertifikat tanah.

PT BSA membuka posko pengaduan untuk mendata petani penggarap di lahan Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah. [Suaralampung.id/Agus Susanto]
PT BSA membuka posko pengaduan untuk mendata petani penggarap di lahan Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah. [Suaralampung.id/Agus Susanto]

Lalu pria bertopi dan berjaket gelap itu mendekati panitia pendataan tali asih dan duduk di kursi yang sudah disediakan. Rusmanto dan dua rekannya menyodorkan surat sertifikat tanah miliknya. "Ini sertifikat saya silahkan dicek," kata Rusmanto.

Setelah dicek lembar demi lembar oleh salah satu panitia, lalu sertifikat tersebut difotokopi oleh pihak perusahaan.

"Ok nanti saya telepon pekerja kami yang sedang membajak lahan, agar tidak membajak lahan bapak," kata seorang pria yang diketahui pegawai perusahaan PT BSA itu.

Rusmanto mengatakan lahan miliknya seluas satu hektare yang saat ini ditanami sawit memiliki legalitas berupa sertifikat tanah. Berdasarkan peta, lahannya terhimpit oleh lahan yang diklaim milik PT BSA.

"Lahan saya hanya 1 hektare, dua rekan saya juga ini masing masing ada 1 hektare tapi ada suratnya, cuman lokasinya di tengah tengah milik lahan yang sengketa ini. Jadi kami ke sini ingin konfirmasi jangan sampai pembajak membajak lahan kami, takutnya terjadi salah komunikasi," kata Rusmato.

Perwakilan PT BSA Agus Susanto menjelaskan pihaknya akan memberikan kompensasi kepada penggarap lahan yang besarannya tergantung luasan tanaman dan jenis tanaman berikut usia tanaman.

Pihak perusahaan akan mendata masyarakat yang menggarap di atas lahan PT BSA bersama tim POKJA yang terdiri dari pihak perusahaan dan forkopimda Lampung Tengah.

"Dari pendataan itu kami bisa mengetahui data luas lahan, jenis tanaman, umur tanaman guna untuk menentukan nilai tali asih dari kami," terang Agus Susanto.

Terkait dengan pemberian tali asih, pihak perusahaan sudah menyiapkan dana sebesar Rp2,5 miliar yang dititipkan di Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Kabupaten Lampung Tengah.

"Kami fleksibel terkait dana, kami akan menyesuaikan dengan yang dibutuhkan. Artinya dana Rp2,5 miliar itu untuk persiapan," jelas Agus.

Agus mengatakan, PT BSA memiliki legalitas atas lahan itu berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) di dua bidang tanah masing masing 807 hektare yang berakhir 2029 dan 108 hektare berakhir 2040. Apabila saatnya nanti sudah mendekati berakhirnya masa HGU, PT BSA akan memperpanjangnya kembali.

"Kami akan memperpanjang dikarenakan sebelumnya tanaman yang kami tanam adalah kelapa sawit dan akan kami rubah menjadi tanaman tebu guna memenuhi kebutuhan bahan baku gula," kata Agus Susanto.

Kenap masyarakat bisa menguasai lahan garapan perusahaan PT BSA? Agus menjelaskan ini terjadi pada saat pelaksanaan replanting tanaman kelapa sawit untuk diganti tebu.

Pada proses replanting itu, ratusan lahan itu terlihat kosong sehingga menimbukan kesan lahan terlihat seperti tidak produksi. Pada saat itulah, kata Agus, warga datang menggarap lahan itu hingga kini yang sudah 9 tahun.

Selama lahan perusahaan digarap masyarakat, Agus mengatakan, pihak perusahaan mengalami kerugian cukup banyak karena perusahaan tidak bisa melakukan kegiatan operasional.

"Dalam hitungan perusahaan, kerugian mencapai Rp100 miliar lebih, dan pada 2014 dulu kami pernah memberikan tali asih sebesar 3 juta untuk satu hektare, tapi kenyataannya penggarap kembali menguasai," terang Agus.

Perusahaan berjanji akan memprioritaskan masyarakat sekitar untuk bisa dipekerjakan di PT BSA sepanjang calon pekerja memenuhi persyaratan yang sesuai dengan jenis pekerjaannya.

Polisi Terjunkan 1.500 Personel

Kapolres Lampung Tengah AKBP Andik Purnomo Sigit menegaskan penggarap menguasai lahan HGU PT BSA sejak tahun 2014 . Kata dia, persoalan ini pernah digugat secara perdata yang hasilnya penggarap belum bisa menunjukkan legalitas atas tanah tersebut.

"Sehingga pihak pengadilan masih memenangkan perusahaan atas status garapan lahan seluas 900 hekare lebih itu," kata Andik Purnomo Sigit.

Namun penggarap masih memiliki keyakinan untuk menggarap lahan perusahaan sehingga terjadi kericuhan saat proses pengambilalihan lahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan BSA pada Kamis (21/9/2023).

Kericuhan ini sempat viral di media sosial karena aksi aparat kepolisian yang represif terhadap para petani. Seorang anggota polisi Bripka ZK terekam kamera menginjak kepala seorang petani.

Dalam kericuhan itu, Andik mengatakan, petugas sempat menahan 7 orang yang diduga sebagai provokator. Kini mereka sudah dilepaskan.

"Ada satu orang yang masih kami amankan karena membawa senjata tajam menyerupai sangkur saat proses eksekusi lahan," tegas Kapolres.

Menurut Andik, pihaknya hanya memediasi antara perusahaan dan warga penggarap agar ada solusi terbaik bagi perusahaan dan petani penggarap.

Setelah dilakukan pengamanan oleh 1500 personel polisi, situasi di lapangan berangsur kondusif. Kini perusahaan sudah melakukan pengolahan lahan dengan cara pembajakan tanah menggunakan mobil traktor sebanyak 35 unit.

Kapolres mengimbau kepada masyarakat yang memiliki garapan agar mendaftarkan di posko POKJA agar segera mendapatkan tali asih dari pihak perusahaan.

Terkait dengan sengketa lahan antara perusahaan PT BSA dengan warga penggarap, Andik akan melihat situasi selanjutnya. Jika masih terjadi penyerobotan atau hal lain, Kapolres berjanji akan mendalami kasus tersebut.

Pangkal Masalah

Sengketa lahan antara masyarakat dengan PT BSA ini sebenarnya sudah pernah diselesaikan lewat jalur pengadilan di tahun 2014 lalu. Warga atas nama Nur Ali yang mewakili warga adat Desa Bumi Aji, Desa Negara Aji, dan Negara Aji Baru. Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Gunung Sugih.

Pada gugatan itu, majelis hakim menolak gugatan Nur Ali. Masyarakat pun kembali mengajukan gugatan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Tanjung Karang.

Majelis hakim lalu menerima permohonan banding tersebut  dan membatalkan putusan PN Gunung Sugih sebelumnya. Masalah ini berlanjut sampai tingkat kasasi. Di level kasasi, masyarakat Anak Tuha dinyatakan kalah pada 19 Oktober 2017.

Dikutip dari Direktori putusan PN Gunung Sugih, sengketa bermula ketika PT. Chandra Bumi Kota mengajukan permohonan HGU atas lahan seluas 807 ha pada tanggal 20 Februari 1980.

Permohonan ini dikabulkan Kantor Pertanahan Lampung Tengah dengan menerbitkan sertifikat HGU 11/LT Tahun 1986.

HGU itu diterbitkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 09/HGU/1981 tentang Hak Guna Usaha PT. Candra Bumi Kota yang sudah dilepaskan hak milik adatnya berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tk. 1 Lampung tanggal 11 September 1973 No : G/193/D.1/Hak/1973.

Lalu pada tahun 1990, PT. Candra Bumi Kota menjual tanah HGU itu kepada PT. Bumi Sentosa Abadi (BSA). Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, kemudian diterbitkan sertifikat pengganti atas tanah HGU No. U. 11/LT Tahun 1986 dari atas nama PT. Candra Bumi Kota menjadi HGU No. U.28/LT Tahun 1993 atas nama PT. Bumi Sentosa Abadi tertanggal 28 September 1993.

Sertifikat pengganti HGU No.U.28/LT atas nama PT. Bumi Sentosa Abadi tersebut berakhir pada tanggal 31 Desember 2006. Sebelum berakhirnya masa HGU, PT. BumiSentosa Abadimengajukan permohonan perpanjangan HGU tersebut kepada Kepala BPN RI pada tanggal 2 Maret 2004 .

Selanjutnya terbit Keputusan Kepala BPN RI No. 63/HGU/BPN 2004 tanggal 17 September 2004 tentang perpanjangan HGU No. U. 28/LT atas nama PT. Bumi Sentosa Abadi selama 25 tahun.

Berdasarkan keputusan perpanjangan tersebut PT. Bumi Sentosa Abadi telah mendaftarkan Perpanjangan HGU No.U.28/LT tersebut di Kantor BPN Lampung Tengah tanggal 26 Oktober 2004 No. 8760/2004 yang dikabulkan Perpanjangannya (HGU No.U.28/LT
atas nama PT. Bumi Sentosa Abadi) sampai dengan tanggal 25 Oktober 2029.

Penerbitan HGU inilah yang dipermasalahkan warga sebab menurut mereka objek HGU dalam perkara ini bukanlah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara melainkan tanah adat atau tanah marga yang diakui keberadaannya oleh UUPA No 5 Tahun 1960.

Kontributor : Agus Susanto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini