Apa yang Terjadi pada 17 Oktober 1952? Konflik Politisi Sipil dengan Militer Berujung Pengepungan Istana

Sebenarnya apakah yang terjadi pada 17 Oktober 1952 itu?

Wakos Reza Gautama
Kamis, 15 September 2022 | 07:10 WIB
Apa yang Terjadi pada 17 Oktober 1952? Konflik Politisi Sipil dengan Militer Berujung Pengepungan Istana
Ilustrasi AH Nasution. Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan konflik politisi sipil dan militer yang berujung pengepungan Istana. [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]

SuaraLampung.id - Perseteruan TNI AD dengan anggota DPR RI Effendi Simbolon sempat memanas kala beredarnya video protes sejumlah prajurit di media sosial.

Dalam video yang beredar, para prajurit TNI AD itu menyatakan protes atas ucapan Effendi Simbolon yang menyebut TNI sebagai gerombolan dan ormas. 

Mereka mendesak Effendi Simbolon minta maaf atas pernyataannya yang telah melukai hati para prajurit TNI khususnya Angkatan Darat. 

Effendi Simbolon akhirnya meminta maaf secara terbuka terhadap TNI khususnya AD atas perkataannya saat rapat kerja bersama Kementerian Pertahanan dan TNI itu.

Baca Juga:Sayangkan Effendi Simbolon Minta Maaf ke TNI, ISESS: Pernyataan Itu Disampaikan Dalam Forum Resmi DPR

Belakangan diketahui gerakan para prajurit TNI AD ini atas perintah dari pimpinan tertinggi KSAD Jenderal Dudung Abdurachman

Insiden ini mengingatkan Pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie pada peristiwa yang terjadi di tahun 1952. Ia pun mewanti-wanti jangan sampai peristiwa kelam itu terjadi lagi di era saat ini. 

Hal serupa disampaikan Dandim Semarang Letkol Honi Havana saat menanggapi pernyataan Effendi Simbolon. 

"Harapannya peristiwa kemarin jadi pelajaran bagi kita semua. Dulu di tahun 52, peristiwa 17 Oktober 1952, TNI AD terpaksa melakukan aksi mengepung Istana karena apa? karena legislatif berusaha mencampuri urusan teknis dan internal Angkatan Darat," ujar Honi.

Sebenarnya apakah yang terjadi pada 17 Oktober 1952 itu?

Baca Juga:ISESS: Perlu Peran Pimpinan TNI Meredam Reaksi Prajurit Terhadap Effendi Simbolon

Berawal dari Konflik Internal TNI

Pada 2 November 1949, Indonesia menandatangani Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB digelar sebagai upaya penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda ke pemerintah Indonesia yang berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).

Salah satu poin dalam KMB adalah kerjasama antara Indonesia dengan pemerintah Belanda.

Ini melahirkan program yang bernama Misi Militer Belanda di lingkungan TNI khususnya Angkatan Darat.
Misi Militer Belanda bertujuan profesionalisasi dan modernisasi TNI.

Caranya dengan mendatangkan mantan tentara KNIL kebangsaan Indo Belanda sebagai pelatih di Lembaga Pendidikan Angkatan Darat.

Kebijakan KSAD Kolonel AH Nasution ini mendapat tentangan dari Kolonel Bambang Supeno, Inspektur Infanteri TNI AD.

Menurut Bambang Supeno, kebijakan Nasution itu kurang menghargai kemampuan prajurit TNI karena memakai tentara eks KNIL Indo Belanda sebaga pelatih.

Ditambah lagi para tentara eks KNIL itu adalah orang-orang yang dulunya berperang melawan tentara Indonesia. Sehingga kebijakan Misi Militer Belanda tidak mencerminkan sikap seorang patriot menurut Bambang Supeno.

Bambang SUpeno lalu mengirim surat ke Presiden, perdana menteri, menteri Pertahanan dan tembusannya ke parlemen.

Dalam surat itu Bambang Supeno meminta Nasution dicopot sebagai KSAD karena sudah membuat kebijakan yang tidak patriotisme.

Pimpinan TNI AD menilai tindakan Bambang Supeno adalah tindakan indispliner. KSAD Kolonel AH Nasution pun membebastugaskan Kolonel Bambang Supeno sebagai Inspektur Infanteri AD. 

Campur Tangan Parlemen

Parlemen yang mendapat surat tembusan Kolonel Bambang Supeno, meresponnya. Parlemen mengadakan rapat khusus mengenai surat Kolonel Bambang Supeno.

Sampai akhirnya ada tiga mosi yang diajukan di dalam parlemen dalam menyikapi surat Kolonel Bambang Supeno.

Mosi pertama yaitu Mosi Zainul Baharuddin Ir Sukiman. Mosi kedua adalah mosi IJ Kasimo dari Partai Katolik dan M Natsir dari Partai Masyumi. Mosi ketiga adalah mosi Manaai Sophiaan dari PNI.

Setelah diadakan voting, parlemen memenangkan mosi Manai Sophiaan. Isi mosi itu adalah mengakhiri Misi Militer Belanda, melakukan perubahan di pimpinan TNI dan menyusun UU Pokok Pertahanan.

Mosi Manaai Sophiaan ini membuat para petinggi TNI berang. Mereka tak terima dengan tindakan parlemen yang mengeluarkan mosi tersebut.

Bagi para pimpinan TNI, itu adalah bentuk campur tangan parlemen terhadap militer dan intern AD.

Pimpinan TNI AD lalu menggelar pertemuan yang mengundang semua Panglima Teritorium pada 16 Oktober 1952. Pada pertemuan itu para pimpina AD membuat surat berisi tuntutan ke Presiden Soekarno.

Salah satu isi dari surat tuntutan itu adalah meminta Presiden membubarkan Parlemen. Tidak hanya itu para pimpinan TNI AD juga merencanakan aksi demonstrasi melibatkan warga sipil.

Para pimpinan AD ini lalu membuat daftar 30 anggota parlemen yang akan ditangkap. Salah satunya adalah Manaai Sophiaan.

Tengah malam Kolonel Dr Mustopo bersama beberapa pengawal mendatangi rumah Manaai Sophiaan untuk menangkapnya .

Manai Sophiaan memberi peringatan bahwa namanya telah dicoret oleh Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX dari daftar anggota parlemen yang harus ditangkap.

Selain itu, Manai juga memberitahukan kepada Mustopo dan regunya bahwa di rumahnya sedang ada 5 anggota Mobrig bersenjata. Akhirnya Mustopo dan regu pengawalnya pergi.

Moncong Tank ke Istana

Pagi hari 17 Oktober 1952, ribuan orang berkumpul di Lapangan Banteng. Ribuan orang itu tidak hanya berasal dari Jakarta tapi juga dari luar Jakarta.

Mereka dimobilisasi oleh tentara. Letnan Kolonel Sutoko dan Letkol S Parman merekrut para jawara di Jakarta untuk ikut berdemonstrasi menuntut pembubaran parlemen.

Bagian Intelijen Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Jakarta dengan truk-truk militer.

Sementara itu Letnan Kolonel Kemal Idris mengerahkan persenjataan TNI termasuk tank dan meriam.
Bahkan Kemal Idris mengarahkan moncong meriam ke Istana Negara.

Dua buah tank, empat kendaraan lapis baja dan ribuan orang menyerbu memasuki pintu Istana Merdeka.
Satu Batalyon Artileri dengan empat buah meriam menderu-deru memasuki halaman Istana.

Meriam-meriam bikinan Inggris itu digerakkan dan dihadapkan ke parade. Pasukan TNI berdemonstrasi di dalam Istana Negara.

Kemal Idris yang mengarahkan moncong meriam ke Istana punya alasan melakukan hal tersebut. Menurutnya, panser dan tank terpaksa dikeluarkan untuk mengimbangi demonstrasi panser polisi saat mengamankan aksi demonstran.

Saat itu kata Kemal Idris moncong panser polisi diarahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jalan Veteran.

Debat Sukarno dengan Nasution

Di saat bersamaan aksi para demonstran di luar Istana, para pimpinan AD datang ke Istana Negara menemui Presiden Soekarno. Delegasi dipimpin Nasution didampingi Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang.

Ikut pada pertemuan itu para panglima Teritorium dan pimpinan AD yaitu Kolonel M Simbolon, Letkol Kosasih, Letkol M Bahrun, Letkol Suwondo, Letkol A Gani, Letkol Sutoko, Letkol Sukanda, Letkol Suprapto, Letkol Suryo Suyarso, Letkol S Parman, Letkol Askari, Letkol Azis Saleh, Letkol Sumantri dan Kolonel AE Kawilarang.

Mereka meminta Presiden Soekarno membubarkan parlemen dan menyatakan negara dalam keadaan bahaya.

Dalam Dokumen Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP) dituliskan suasana pertemuan Nasution cs dengan Bung Karno.

“Kami minta kepada Presiden dapat menerima tentang adanya “keadaan bahaya” di seluruh Indonesia dan Presiden supaya dapat mengambil kekuasaan sebagai Panglima Tertinggi,” ujar Nasution kepada Presiden Soekarno.

“Apakah saudara-saudara menghendaki saya sebagai diktator?” tanya Bung Karno.
“Ya jika perlu,” jawab Nasution.

“Jika saya menjadi diktator bagaimana kalau saya memecat saudara-saudara sekalian,” jawab Presiden lagi.
Bung Karno lalu mengembalikan surat tuntutan para perwira AD itu ke Nasution.

Isi pertemuan ini dibantah Nasution sebagai fitnah belaka. Menurut Nasution pertemuan berjalan layaknya anak bertemu bapak.

Nasution mengatakan, dirinya hanyalah berbicara pengantar. Juru Bicara lalu ia serahkan ke Letkol Sutoko.

Soekarno memiliki versi sendiri saat menggambarkan peristiwa pertemuannya dengan Nasution cs pada 17 Oktober 1952.

Soekarno menilai saat itu Nasution melakukan gerakan setengah kudeta. Pada pertemuan itu Nasution terlibat percakapan dengan Bung Karno.

“Ini tidak ditujukan kepada Bung Karno pribadi, melainkan untuk menentang sistem pemerintahan. Bung Karno harus segera membubarkan parlemen,” tegas Nasution kepada Bung Karno.

Mendengar perkataan Nasution, Bung Karno marah. Saking marahnya mata Bung Karno sampai memerah.

“Engkau benar dalam tuntutanmu, tetapi salah di dalam caranya. Sukarno tidak akan menyerah menghadapi paksaan. Tidak pernah kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu Batalyon Tentara Nasional Indonesia.”

“Bila ada kekacauan di negara kita, setiap orang berpaling kepada tentara,” balas Nasution sengit.

“Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tetapi si prajurit yang harus mati. Wajar bila kami turut berbicara tentang apa yang sedang berlangsung,” lanjut Nasution.

“Mengemukakan apa yang terasa di hatimu kepada Bung Karno- YA. Tetapi mengancam Bapak Republik Indonesia-TIDAK. JANGAN SEKALI-KALI!” kata Soekarno tegas.

Bung Karno lalu keluar Istana menemui para demonstran. Dengan rasa percaya diri, Soekarno menuruni tangga melintasi lapangan menuju jalan raya tempat demonstran berkumpul.

Soekarno tak takut dengan keberadaan panser dan moncong meriam di hadapannya. Ia malah menatap satu per satu senjata artileri itu.

Soekarno lalu melampiaskan kemarahannya pada mereka yang mencoba membunuh demokrasi dengan pasukan bersenjata.

Soekarno lalu berbicara kepada para demonstran seperti seorang ayah berbicara kepada anaknya yang nakal.
Soekarno mengerti ketidakpuasan massa terhadap situasi politik saat itu. Soekarno mengatakan ia tak ingin menjadi diktator dengan membubarkan parlemen.

Ia menjanjikan akan menggelar pemilihan umum secepat mungkin. Kemudian Soekarno memerintahkan massa bubar.

Tanpa ada pertanyaan, ribuan orang itu membubarkan diri sambil berteriak “Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!”

Kemal Idris menganggap sebuah kesalahan ketika membiarkan Soekarno berpidato di depan massa.

Tujuan yang ingin dicapai menjadi gagal karena SOekarno adalah orator ulung yang mampu mempengaruhi psikologis massa.

Tak lama dari kejadian itu, Sukarno mencopot AH Nasution sebagai KSAD. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini