SuaraLampung.id - Populasi rajungan di pesisir Lampung Timur menghawatirkan. Jika pemerintah tidak bergerak serius dikhawatirkan satwa laut dengan ciri khas dua senjata capit itu bisa punah.
Hal tersebut ditegaskan ketua Persatuan Pengusaha rajungan Lampung Timur, Nurhayanti saat ditemui di Desa Muara Gadingmas, Kecamatan Labuhan Maringgai, Jumat (26/11/2021).
Perempuan kelahiran 1966 itu mengatakan, penurunan produksi rajungan disebabkan alat tangkap nelayan yang tidak ramah lingkungan, seperti jenis jaring arad, sodong dan dogol. Tiga jenis jaring tersebut bisa mengangkut telur telur rajungan atau anak anak rajungan.
Selain alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, pengerukan pasir laut di wilayah Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, kata Nurhayati, juga menjadi penyebab langkanya rajungan.
Baca Juga:Polisi Peduli Lingkungan, Cara Aipda Gede Sumadia Hijaukan Register 38 Lampung Timur
Sebab dengan adanya pengerukan pasir laut sangat menganggu perkembangbiakan rajungan karena rajungan melakukan pembuahan atau bertelur di lokasi pasir.
"Pengerukan pasir di teladas berjalan sumput sumputan, secara jelasnya memang saya tidak tau pasti, tapi itu informasi dari anak buah saya yang sering berlayar ke wilayah Teladas," kata Nurhayati.
Perempuan 56 tahun itu menjelaskan penurunan produksi rajungan dialami sejak 2016 hingga saat ini. Sebelum 2016 dirinya dalam satu hari bisa mengirim daging rajungan sebanyak 1 ton.
Namun selama empat tahun terakhir ini dirinya hanya bisa memproduksi daging rajungan sebanyak 4 kuintal dalam 2 hari.
"Bayangkan dulu sebelum 2016 sehari saya bisa mengirim 1 ton daging rajungan ke perusahaan setiap hari, tapi empat tahun hanya sanggup 4 kuintal 2 hari sekali, berapa persen penurunannya," kata Ibu dua anak itu.
Baca Juga:Tolak Umrah dari Pemerintah, Keluarga Korban Talangsari: Umrah Bukan Hadiah Negara
Nurhayati, merupakan salah satu pengusaha supplier daging rajungan di Desa Muara Gadingmas, Kecamatan Labuhan Maringgai, dan juga sebagai Ketua Persatuan Pengusaha Rajungan berharap pemerintah bisa memperhatikan persoalan tersebut.
Sebab kata dia, rajungan merupakan icon usaha nelayan di Lampung Timur yang sudah bertaraf nasional dan merupakan usaha rumahan yang di ekspor hingga ke Luar Negeri. Namun Nurhayati sebagai supplier hanya melakukan pengelupasan cangkang rajungan untuk diambil dagingnya dan setelah itu dikirim ke perusahaan yang ada di Kabupaten lampung Selatan.
"Saya membeli rajungan dari nelayan Rp 160 ribu per kilo. Kalau saya kupas untuk diambil dagingnya, dan dagingnya saya jual ke perusahaan seharga Rp 500 ribu per kilo," kata pengusaha tersebut.
Wakil Ketua Himpunan Nelayan Indonesia (HNSI) Lampung Timur Andi Baso, membenarkan adanya tiga alat tangkap seperti arad, Sodong dan dogol yang jika dioperasikan terlalu kepinggir bibir pantai tentu akan merusak telur dan anak anak rajungan.
Namun Andi Baso juga tidak bisa melarang keberadaan tiga jaring tersebut karena pemerintah juga tidak melarangnya. Tentu kata dia, hal tersebut menjadi persoalan simalakama. Jika tiga jaring dimaksud ditertibkan nelayan akan menolak jika dibiarkan akan merusak habitat rajungan dan telur telur ikan lainnya.
Solusi yang dilakukan HNSI, kedepan akan dilakukan upaya konservasi mempertahankan habitat rajungan, teknisnya yaitu dari bibir pantai menuju tengah laut dengan jarak 4 mil akan diberi pembatas. Tujuannya agar melarang nelayan alat modern untuk beroperasi di batas 4 mil dari bibir pantai.
"Nanti akan kami berlakukan. Nelayan dengan jaring modern tidak boleh beraktivitas dari bibir pantai berjarak 4 mil, dan ini sudah kami sosialisasikan kepada nelayan Lampung Timur beberapa minggu lalu," ujar Andi Baso.
Kata dia, program konservasi mempertahankan rajungan masih dalam pembahasan raperda di tingkat Provinsi, hingga saat ini Andi Baso belum bisa memastikan kapan konservasi tersebut di galakan.
"Pastinya belum tau, tapi yang pasti sudah kami bicarakan dengan Dinas Kelautan Provinsi lampung dengan nelayan beberapa minggu lalu," kata Wakil HNSI tersebut.
Kontributor: Agus Susanto