Satu rombongan wisatawan untuk satu lokasi wisata dikenakan tarif sebesar Rp 250 ribu. Tarif itu dibagi lagi dimana Rp 25 ribu untuk kas desa, Rp 25 ribu untuk kas Pokdarwis dan Rp 200 ribu untuk pemilik objek wisata.
"Kalau wisatawan ingin melihat tanaman jeruk atau menanam padi, dan sejenisnya uang Rp 200 ribu diberikan pemilik lahan. Satu rombongan berjumlah 5 orang," kata Toni.
![Para wisatawan menanam padi di Desa Braja Harjosari, Lampung Timur, lokasi ekowisata. [Dok Pokdarwis Desa Braja Harjosari]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/11/08/30482-ekowisata-di-lampung-timur.jpg)
Kenapa ekowisata bisa menanggulangi konflik gajah?
Toni menjelaskan sejumlah lokasi wisata berada tidak jauh dari pinggir hutan TNWK. Banyaknya aktivitas manusia membuat rombongan gajah liar tidak berani mendekati lahan pertanian.
Baca Juga:7 Wisata di Bali Tersembunyi, Indahnya Nggak Ada Obat
Tak jarang wisatawan asing menikmati alam pada malam hari di pinggir hutan untuk memantau burung malam. Hal tersebut secara tidak langsung bisa menanggulangi gajah liar untuk tidak masuk peladangan.
"Betul tidak setiap hari ada wisatawan, namun gajah memiliki daya ingat tinggi jika lokasi tersebut sering di gunakan aktivitas manusia maka gajah tidak akan lagi mau mendatangi lokasi dimaksud," kata Toni.
Menjadi sumber ekonomi
Wisatawan asing dari Australia, Amerika, Jerman, Belgia, Singapura, Jepang dan Filipina, adalah wisatawan luar negeri yang sering berkunjung ke lokasi ekowisata.
Setiap berkunjung wisatawan asing memilih menginap, Masyarakat menyadari ada peluang usaha dengan membuat homestay. Di Desa Braja Harjosari saat ini ada delapan Homestay yang dikelola oleh pemilik masing masing.
Baca Juga:Agrowisata Organik Dikembangkan, Pemkab Berharap Wisata Pantai Samas Jadi Primadona Lagi
"Seperti saya juga punya homestay. Satu malam kami pungut biaya Rp 200 ribu plus sarapan pagi. Biasanya wisatawan asing bermalam hingga lima hari," kata Toni.