Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Selasa, 22 Agustus 2023 | 18:21 WIB
Seorang pawang atau mahout menunggang gajah Sumatera jinak di Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau, Sabtu (4/7). [ANTARA FOTO/FB Anggoro]

"Tidak ada asuransi hanya dapat uang Rp. 10 juta entah dari mana, yang pasti uang itu diberikan oleh pihak Balai TNWK untuk tambahan pelaksanaan yasinan selama 7 hari," terang Sulastri.

Saat ini Sulastri jadi perempuan kepala keluarga yang harus menghidupi 2 anaknya. Kematian Yarkoni seolah hanya menjadi sejarah kelam bagi keluarga mereka, karena kematian Yarkoni akibat diinjak gajah tak pernah dikenang sebagai korban atau pejuang yang menyelamatkan tanaman di lingkungannya dari gajah liar. Tak ada penghargaan atau balas jasa dari pemerintah untuk Yarkoni.

Siti Rokhayah juga mengalaminya. Para perempuan khususnya ibu rumah tangga yang ada di Dusun 1, Desa Rantau Jaya meronta dengan kondisi yang ada, yaitu dengan adanya konflik gajah liar yang selalu merangsek tanaman petani.

Meskipun perempuan disana tidak berhadapan langsung dengan satwa dan hutan, tapi dampak yang tidak di inginkan juga dirasa oleh perempuan. Seperti setiap malam suami mereka harus menjaga tanaman dari pukul 19.00 hingga pagi hari.

Baca Juga: Daftar Calon Sementara DPR Dapil Sumsel I: Ada Mantan Wagub, Wali Kota Sampai Menantu Gubernur

"Dampaknya kami was-was, malam yang seharusnya bisa bersama dengan anak istri, suami harus bermalam di kebun, tapi semua itu demi utuhnya tanaman kami,"katanya.

Karena setiap ada kerusakan tanaman akibat gajah liar, Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur ataupun pihak Balai TNWK seolah tidak mau bertanggung jawab seperti mengganti rugi tanaman yang dimakan gajah liar.

Sulastri, sudah 7 bulan ini  harus bekerja keras menghidupi dua anaknya. Sejak suaminya meninggal, dia harus bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan tidak menentu, dengan penghasilan tidak lebih dari 50 ribu per hari untuk kebutuhan makan sehari hari.

Perempuan yang tinggal di Desa Tambahdadi, Kecamatan Purbolinggo, Kabupaten Lampung Timur itu selain bekerja serabutan, setiap hari harus mencari rumput untuk pakan 3 ekor sapinya.

"Selama suami meninggal saya buruh apa saja, terutama buruh buruh di sawah, sambil mencari rumput untuk pakan sapi peninggalan suami,” kata dia.

Baca Juga: Daftar Calon Sementara DPR Dapil Sumsel II: Ada Ketua DPD PDIP, Golkar Sampai Anak Gubernur

Apalagi kata dia, anaknya yang nomor dua masih usia 5 tahun masih membutuhkan banyak uang untuk keperluan sekolah, sementara anak pertamanya yang sudah lulus SMA sudah merantau mencari nafkah semenjak ayahnya meninggal.

Selama 7 bulan, ia merasa berat untuk mencari nafkah dan menghidup anak-anaknya.

Persoalan yang dialami oleh petani penyangga baik kerugian materi akibat tanaman yang rusak atau dimakan rombongan gajah liar hingga ada korban jiwa sudah terjadi selama bertahun-tahun. 

Pengurus Forum Rembuk Desa Penyangga (FRDP) sudah sering melakukan koordinasi dengan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur ataupun dengan Balai TNWK.

"Sudah bosan kami mengusulkan permohonan agar petani yang tanamannya rusak akibat gajah bisa diganti rugi. Petani yang meninggal akibat gajah liar agar dapat asuransi tapi tidak pernah ditanggapi," kata Pengurus FRDP Hutan TNWK, Prayitno saat di temui Jumat (118/2023).

Sebagai pengurus forum desa penyangga, tentu persoalan konflik gajah liar dengan petani belum ada solusi, artinya konflik tersebut masih terus terjadi. Persoalan sosial  tersebut tidak hanya menjadi persoalan bagi laki-laki, namun kaum perempuan khususnya yang suaminya sebagai petani penyangga hutan juga merasakan dampak negatif.

Load More