Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Jum'at, 03 Juni 2022 | 18:05 WIB
Ilustrasi Presiden AS Joe Biden. Joe Biden usulkan perubahan UU Senjata di AS menyusul maraknya penembakan massal. [ANTARA/Reuters/Evelyn Hockstein/as]

SuaraLampung.id - Maraknya penembakan massal di sejumlah tempat di Amerika Serikat (AS), membuat PresidenAS Joe Biden bereaksi keras. 

Joe Biden mendesak Kongres Amerika Serikat untuk mengubah undang-undang senjata guna merespons serangkaian penembakan massal yang telah melanda negara itu.

Berbicara dari Gedung Putih dalam pidato yang disiarkan langsung pada Kamis malam (2/6/2022), Biden bertanya berapa harga yang dibutuhkan untuk mengubah UU senjata di Amerika, menyusul penembakan terhadap anak-anak sekolah di Texas, di sebuah gedung medis di Oklahoma dan di pusat berbelanjaan di Buffalo, New York baru-baru ini.

"Demi Tuhan, berapa banyak lagi pembantaian yang mau kita terima?" tanya Biden.

Baca Juga: Isco Tolak Pinangan AC Milan, Pilih Bermain di La Liga

Presiden yang berasal dari Partai Demokrat itu menyerukan sejumlah tindakan yang secara historis ditentang oleh Partai Republik di Kongres, termasuk melarang penjualan senjata serbu.

Jika itu tidak memungkinkan, menaikkan usia minimum untuk membeli senjata itu menjadi 21 dari 18 tahun, serta mencabut perlindungan kewajiban yang melindungi produsen senjata dari tuntutan atas kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang membawa senjata mereka.

"Kita tidak bisa mengecewakan rakyat Amerika lagi," kata Biden, yang menekan Partai Republik untuk mengizinkan RUU dengan langkah-langkah pengendalian senjata diproses untuk pemungutan suara.

AS, yang mencatat tingkat kematian akibat kekerasan bersenjata yang lebih tinggi daripada negara kaya lainnya, telah terguncang dalam beberapa pekan terakhir oleh penembakan massal di sebuah toko kelontong di bagian utara New York, sebuah sekolah dasar di Texas yang menewaskan 19 anak-anak, dan gedung medis di Oklahoma.

Anggota parlemen sedang mencari langkah-langkah untuk memperluas pemeriksaan latar belakang dan mengesahkan undang-undang "bendera merah" yang akan memungkinkan petugas penegak hukum untuk mengambil senjata dari orang yang menderita penyakit mental.

Baca Juga: Belum Juga Perpanjang Kontrak, AS Roma Kasih Ultimatum buat Henrikh Mkhitaryan

Namun, setiap tindakan baru menghadapi rintangan dari Partai Republik, khususnya di Senat AS, dan langkah untuk melarang senjata serbu tidak memiliki cukup dukungan untuk maju.

Terlepas dari tantangan politik, Biden mendesak Kongres untuk bertindak.

"Setelah Columbine, setelah Sandy Hook, setelah Charleston, setelah Orlando, setelah Las Vegas, setelah Parkland, tidak ada yang dilakukan," kata Biden, yang menyebutkan penembakan massal paling menonjol selama dekade terakhir. "Kali ini keadaan itu tak bisa dibenarkan."

Pendukung keamanan senjata telah mendorong Biden untuk mengambil langkah-langkah sendiri yang lebih kuat untuk mengekang kekerasan senjata, tetapi Gedung Putih ingin Kongres meloloskan undang-undang yang akan memiliki dampak yang lebih tahan lama daripada perintah presiden mana pun.

Lebih dari 18.000 orang telah tewas akibat kekerasan senjata di AS sejauh ini pada 2022, termasuk melalui pembunuhan dan bunuh diri, menurut sebuah kelompok riset nirlaba Gun Violence Archive.

Kanada, Australia, dan Inggris telah mengesahkan undang-undang senjata yang lebih ketat setelah penembakan massal di negara mereka dengan melarang senjata serbu dan meningkatkan pemeriksaan latar belakang.

Sementara Amerika telah mengalami dua dekade pembantaian di sekolah, toko, tempat kerja, dan tempat ibadah tanpa undang-undang semacam itu. (ANTARA)

Load More