SuaraLampung.id - Anto Abdul Mutholib tak patah arang saat disebut gila oleh para petani di tempatnya tinggal. Inovasinya membuat varietas unggul buah alpukat, dianggap tak masuk akal.
Namun usaha tak mengkhianati hasil. Warga Desa Girimuliyo, Kecamatan Marga Sekampung, Lampung Timur, ini mampu menghasilkan buah alpukat berkualitas tinggi. Varietas baru itu ia namakan Siger Satu.
Anto sebenarnya bukanlah seorang yang memiliki dasar pengetahuan sebagai petani. Kuliahnya saja jurusan Akuntansi. Tapi ia memiliki minat di bidang pertanian. Bergabunglah Anto dengan LSM bernama Wahana Komunikasi Masyarakat (Wakoma) di Solo, Jawa Tengah.
Selama bergiat di Wakoma, Anto bersentuhan dengan dunia pertanian. Sedikit demi sedikit ia belajar mengenai pertanian. Tahun 2009, Anto pulang kampung ke Desa Girimuliyo, Kecamatan Marga Sekampung, Lampung Timur.
Baca Juga: Didatangi Tim Kemenlu, Dua Desa di Lampung Timur Masuk Nominasi HPWA
Di desanya, almarhum sang ayah memiliki lahan seluas 5 hektare. Anto berinisiatif memanfaatkan lahan itu untuk pertanian. Kebanyakan petani di sana saat itu menanam jagung dan singkong.
Anto berkeinginan merubah pola tanam petani di sana menjadi tanaman kayu. Alasannya sederhana yaitu untuk menjaga ekosistem hutan. Lokasi desa Anto berada di wilayah Hutan Register 38.
Dipilihlah alpukat sebagai tanaman yang ia kembangkan di lahannya. Kebetulan saat itu memang sudah ada tanaman alpukat di lahannya. Namun Anto ingin menghasilkan varietas unggul.
Pria kelahiran 1969 ini melakukan uji coba untuk menghasilkan varietas unggul alpukat. Ia menggunakan metode baru yaitu menyambung ujung ranting atau intres pohon alpukat lokal yang sudah berusia 39 tahun dengan bibit lokal yang ia semai.
Anto mengumpulkan biji alpukat lalu disemai. Setelah tumbuh sekitar satu jengkal, disambung dengan intres pohon alpukat yang jadi induknya.
Baca Juga: Cara Mendapatkan Muka Glowing Pakai Apa? Ini Jawabannya
Anto mengajak petani sekitar untuk mencoba cara tersebut. Namun tidak ada yang berminat. Cara Anto ini dinilai petani setempat tak masuk akal.
"Tahun 2009 saya disebut gila oleh para petani, karena setiap hari kerjaan saya cuma nyambung bibit alpukat," kata Anto, saat ditemui di kediamannya di Desa Girimuliyo, Senin (22/11/2021).
Dianggap remeh tak membuat Anto putus asa. Anto tetap melakukan uji coba metode yang ia temukan sendiri. Di awal memang hasilnya tidak memuaskan. Dari 300 pohon induk, hanya satu pohon yang hasilnya sesuai harapan.
Alpukat yang dihasilkan berbeda dengan alpukat pada umumnya. Buahnya lebih rapat, ukiran alpukat hasil pengilangan lebih besar dibanding alpukat lain.
Anto terus melakukan penyempurnaan metode penyambungan intres alpukat dengan bibit yang disemai. Perlahan percobaannya ini berhasil di semua pohon induk.
Anto lalu memberikan buah alpukat hasil penelitiannya ke para tetangga. Herannya, kata Anto, tidak semua warga mau menerima meskipun diberi bibit alpukat secara gratis.
- 1
- 2
Berita Terkait
Terpopuler
- Ogah Ikut Demo Besar-besaran Ojol di Jakarta 20 Mei, KBDJ: Kami Tetap Narik Cari Rezeki!
- 10 Mobil Bekas di Bawah Rp100 Jutaan: Kabin Lapang, Keluaran Tahun Tinggi
- 8 Rekomendasi Sunscreen Mengandung Vitamin C, Ampuh Hilangkan Noda Hitam
- 7 Sunscreen Mengandung Salicylic Acid, Ampuh Atasi Jerawat dan Kulit Berminyak
- Kritik Suporter PSS ke Manajeman Viral, Bupati Sleman: Ya Harus segera Berbenah
Pilihan
-
Honda Cari Bibit Pembalap Muda di Ajang HDC
-
Profil Pemilik Rupiah Cepat, Pinjol Viral yang Disorot Publik Ternyata Dikuasai Asing
-
5 HP Murah Rp2 Jutaan Layar AMOLED: RAM Besar, Kamera Resolusi Tinggi
-
Mau Wajah Glowing? Inilah Urutan Menggunakan Skincare Malam yang Tepat
-
7 Brand Skincare Korea Terbaik, Auto Bikin Kulit Mulus Harga Mulai Rp19 Ribu
Terkini
-
Momentum Kebangkitan Nasional, Ini 7 Bukti BRI Bantu Pulihkan Ekonomi Indonesia
-
3 Amplop DANA Kaget Hari Ini, Cek Nilainya Ratusan Ribu Rupiah
-
Portofolio Sustainable Finance BRI Tembus Rp796 Triliun, Terbesar di Indonesia
-
Desa BRILiaN Hargobinangun di Lereng Merapi: Hasil Inovasi UMKM Bersama BRI
-
Di Antara Kabut Batu Tegi: Petani, Konservasi, dan Jalan Panjang Menuju Harmoni