SuaraLampung.id - Di tengah diskursus kebijakan upah minimum dan realita biaya hidup yang terus meroket di kota-kota besar, angka Rp3 juta per bulan bagi sebuah keluarga dengan dua orang anak bukanlah sekadar data statistik.
Ini adalah sebuah kondisi darurat fiskal yang menuntut sebuah "konstitusi" keuangan yang luar biasa ketat, disiplin, dan strategis.
Bertahan hidup dengan anggaran ini bukan lagi soal menabung untuk liburan, melainkan sebuah pertarungan politik harian untuk kedaulatan finansial.
Bagi keluarga yang berada di garis depan pertempuran ekonomi ini, setiap rupiah adalah aset negara, dan setiap pengeluaran adalah keputusan kebijakan yang berdampak langsung pada kesejahteraan "warga negara" (anak-anak).
Baca Juga:Jaringan AgenBRILink BRI Dorong Literasi dan Inklusi Keuangan Daerah
Mengelola defisit dan mengupayakan surplus (tabungan) memerlukan kecerdasan seorang menteri keuangan dan ketegasan seorang panglima tertinggi.
Ini adalah 5 pasal fundamental dalam "Konstitusi Darurat Keuangan Keluarga" yang dirancang untuk bertahan, melawan, dan pada akhirnya, menang dengan cara menabung.
Pasal 1: Politik Anggaran dan Alokasi Dana Wajib (Metode 70/20/10)
Lupakan aturan 50/30/20 yang idealis. Dalam kondisi darurat, alokasi anggaran harus bersifat realistis dan defensif. Anggap ini sebagai APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) keluarga Anda.
- 70% untuk Kebutuhan Pokok (Rp2.100.000): Ini adalah pos alokasi dana yang tidak bisa diganggu gugat. Dana ini mencakup sewa kontrakan/cicilan rumah subsidi, listrik, air, beras, lauk-pauk (fokus protein nabati dan telur), biaya sekolah anak, dan transportasi publik. Setiap pengeluaran di pos ini harus didasarkan pada harga paling efisien. Tidak ada ruang untuk negosiasi atau kemewahan.
- 20% untuk Pelunasan Utang & Dana Darurat (Rp600.000): Pos ini adalah garda pertahanan sekaligus serangan balik. Prioritaskan untuk melunasi utang konsumtif (pinjol, paylater) yang memiliki bunga tinggi. Jika tidak ada utang, seluruh dana ini menjadi Dana Darurat Wajib. Ini adalah "pasukan cadangan" Anda.
- 10% untuk Keinginan & Sosial (Rp300.000): Ini adalah katup pengaman tekanan psikologis. Dana ini bisa digunakan untuk membeli jajanan murah bagi anak seminggu sekali, pulsa paket data paling dasar, atau iuran sosial lingkungan. Penggunaannya harus penuh kesadaran dan tidak boleh melebihi pagu anggaran.
Pasal 2: Supremasi Kebutuhan di Atas Keinginan
Baca Juga:BRI Raih Posisi Tertinggi sebagai Institusi Keuangan No.1 RI versi Fortune Southeast Asia 500
Setiap keputusan pembelian harus melewati proses "uji materiil" yang ketat. Apakah ini kebutuhan atau keinginan? Di sini, Anda adalah Mahkamah Konstitusi bagi keuangan Anda sendiri.
- Kebutuhan: Makan untuk hidup (masak sendiri, bawa bekal), seragam sekolah anak, obat generik saat sakit.
- Keinginan: Makan untuk gaya hidup (jajan di luar, pesan kopi), mainan baru untuk anak (ganti dengan aktivitas bermain gratis di taman), paket data unlimited, langganan hiburan digital.
Menghapus pos "keinginan" secara total adalah tindakan yang tidak manusiawi dan bisa memicu "pemberontakan". Namun, membatasinya secara ekstrem adalah sebuah keharusan hukum.
Pasal 3: Kebijakan 'Ekonomi Kreatif' dan Diplomasi Pendapatan
Mengandalkan satu sumber pendapatan dengan gaji 3 juta adalah strategi bunuh diri. Keluarga harus mendeklarasikan kebijakan untuk membuka "hubungan diplomatik" dengan sumber pendapatan baru.
- Ibu: Bisa membuka jasa setrika untuk tetangga, menerima pesanan kue atau nasi bungkus di akhir pekan, atau menjadi reseller produk kebutuhan rumah tangga secara online tanpa stok barang.
- Ayah: Bisa memanfaatkan keahlian di luar jam kerja, seperti menjadi tukang ojek pangkalan di malam hari, menawarkan jasa perbaikan elektronik ringan, atau menjadi tenaga keamanan lepas di acara-acara akhir pekan.
Setiap tambahan Rp100.000 dari pos ini adalah kemenangan strategis yang signifikan.
Pasal 4: Deklarasi Perang Total Terhadap Utang Konsumtif