SuaraLampung.id - Kebijakan Kementerian Pertanian tidak memasukkan sawit sebagai komoditas yang mendapatkan pupuk subsidi membuat para pelaku usaha sawit di Lampung menjerit.
Hujan baru saja berhenti mengguyur Desa Batanghari, Kecamatan Rawa Pitu, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, Senin (24/10/2022) pagi.
Rokani sibuk mengikat alat pemanen sawit berupa sabit yang disambung dengan besi sepanjang 11 meter didesain menjadi tiga pipa besi.
"Besinya bisa disederhanakan menjadi 4 meter, 8 meter maksimalnya 11 meter, fungsinya untuk menyesuaikan tinggi pohon sawit," kata Rokani.
Baca Juga:Semua Rumah Sakit di Bandar Lampung Siap Hadapi Lonjakan Kasus COVID-19
Setelah selesai menyiapkan peralatan dan makanan untuk bekal bekerja satu hari di kebun, Rokani memacu sepeda motornya melintasi jalan berlumpur yang licin.
"Sepeda motornya seperti ini ala kadarnya, yang penting bisa jalan. Roda harus menyesuaikan medan. Saya tambah keranjang untuk mengangkut sawit dari tengah kebun menuju pinggir jalan," ucap pria 58 tahun itu.
Pria yang rambutnya sudah berubah warna itu adalah buruh upahan pemanen buah sawit milik petani swadaya. Setiap satu ton, Rokani diupah Rp250 ribu.
Semakin banyak buah sawit yang dipanen semakin besar pula penghasilan yang ia dapat. Karena itu tanaman sawit yang tingkat kelebatannya maksimal sangat diharapkan Rokani.
"Yang susah kalau yang dipanen buahnya jelek. Sudah capek keliling kebun, dapat rawatannya jelek. Kalo seperti itu paling satu hektare tidak sampai satu ton," terang ayah enam anak tersebut.
Baca Juga:Lihat 2 Anak Tenggelam di Embung Pemanggilan, Pemancing Ikut Tenggelam saat Melakukan Pertolongan
Ditambah lagi saat ini petani sawit tidak bisa mendapat pupuk subsidi. Ini membuat cemas karena akan berdampak pada keberlangsungan pelaku buruh pemanen sawit seperti dirinya.
Sejak petani sawit swadaya tidak lagi diperbolehkan membeli pupuk subsidi, menurut Rokani, hasil buah menurun. Jika ini terjadi terus menerus, dikhawatirkan Rokani, petani sawit swadaya akan beralih menggunakan sistem petani plasma.
Sistem plasma tentu akan mengancam keberadaan buruh upahan seperti Rokani karena untuk bekerja di plasma usianya maksimal 58 tahun.
Penggunaan Pupuk Organik
Dilarangnya komoditas sawit menggunakan pupuk subsidi membuat petani sawit swadaya memutar otak mencari cara merawat sawit dengan biaya rendah tapi tetap hasil tinggi.
Ikhwan Mulyanto, petani sawit swadaya di Desa Karyamakmur, Kecamatan Penawar Aji, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, mencoba jalan alternatif menggunakan pupuk organik.
Pupuk organik buatan Ikhwan memanfaatkan kotoran sapi yang difermentasi dengan abu sekam dan EM4 selama satu minggu sampai dua minggu. Hasil fermentasi itu ditaburkan pada tanaman sawit miliknya seluas dua hektare.
Berbeda dengan pupuk kimia yang ditabur begitu saja dekat batang pohon sawit, pupuk organik milik Ikhwan dimasukkan ke karung lalu diletakkan dekat batang sawit.
"Pupuk organik saya takar 10 kilogram lalu saya masukkan ke dalam karung dan saya letakkan dekat batang sawit dengan jarak 80 cm. Tujuannya apa kok di taruh dalam karung? Biar pupuk tidak terbawa air hujan," kata Ikhwan Mulyanto.
Merawat tanaman sawit dengan pupuk organik tidak instan seperti pupuk kimia. Ikhwan setidaknya perlu waktu satu tahun baru bisa melihat hasilnya.
Ditilik dari biaya, Ikhwan mengakui pupuk organik lebih murah dari pupuk subsidi. Modal yang dikeluarkan Ikhwan untuk memupuk satu pohon sawit menggunakan pupuk organik sebesar Rp 12.500. Sementara saat masih memakai pupuk subsidi, biaya yang dikeluarkan Ikhwan untuk satu pohon sawit sebesar Rp15 ribu.
Namun ia tak punya pilihan karena jika menggunakan pupuk nonsubsidi, Ikhwan harus merogoh kocek sebesar Rp60 untuk satu batang pohon sawit.
"Daripada hasil produksi menurun, saya berjuang dengan pupuk organik, dan hasil produksi juga maksimal masih bisa mendapatkan 1 ton sawit dalam satu hektare," ucap pemilik lahan seluas dua hekatare itu.
Beda dengan Cipuk warga Desa Batanghari, Kecamatan Rawa Pitu, Tulang Bawang. Petani sawit swadaya itu masih menggunakan pupuk kimia nonsubsidi.
"Selagi harga sawit tidak kurang dari Rp1,5 ribu per kilo saya masih menggunakan pupuk kimia nonsubsidi," kata pria 73 tahun yang menggarap kebun sawit seluas 3 hektare ini.
Perbandingan biaya pemupukan antara pupuk subsidi dan nonsubsidi menurutnya hingga Rp1,5 juta untuk lahan 3 hektare.
"Biaya pupuk subsidi setiap 4 bulan sekali sebanyak Rp3,5 juta sedangkan pupuk nonsubsidi habis 5 juta," ucap Ciput.
Cipuk sendiri masih kurang yakin jika harus menggunakan pupuk organik untuk tanaman sawitnya. Ia tak mau ambil risiko tanaman sawitnya rusak gara-gara menggunakan pupuk organik.
"Pupuk organik itu apa bukan pupuk kandang to? Saya takut nyoba-nyoba pupuk kandang takut tanamannya rusak," terangnya.
Meski mengeluarkan biaya lebih besar karena menggunakan pupuk nonsubsidi, Ciput mengaku sejauh masih tetap dapat untung selama harga sawit masih Rp1,5 ribu per kilogram.
Namun jika harga sawit jatuh di bawah Rp1,5 ribu, Ciput memilih tidak akan melakukan pemupukan.
"Maka saya sebagai petani sawit swadaya berharap pemerintah bisa mempertahankan harga minimal Rp1,5 ribu per kilogram," katanya.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kampung Wonorejo, Kecamatan Penawar Aji, Tulang Bawang, Lampung, Widodo mengaku sudah sejak awal 20221 petani sawit swadaya tidak mendapatkan pupuk subsidi.
Widodo membawahi sembilan kelompok tani dengan jumlah anggota setiap kelompok rata rata 30 orang. Mereka memiliki cara masing-masing dalam mempertahankan tanaman sawit di tengah hilangnya pupuk subsidi satu tahun belakangan ini.
Selama ini kata Widodo, petani swadaya di wilayah Kabupaten Tulang Bawang rata-rata nekat menggunakan pupuk nonsubsidi diselingi pupuk organik.
Pola pemupukan seperti ini tidak beraturan. Jika petani memiliki uang akan memupuk dengan pupuk kimia nonsubsidi jika tidak punya uang menggunakan pupuk organik.
Yang menjadi persoalan kata Widodo, jika semua menggunakan pupuk organik tentu petani akan kesulitan mencari bahan baku seperti kotoran sapi.
Hal lain adalah petani tidak tahu cara membuat pupuk organik yang benar sehingga mereka membuat pupuk organik menggunakan naluri saja tanpa ilmiah yakni dengan menaburkan kotoran sapi.
Jika ada bahan baku lain selain kotoran sapi untuk pupuk organik, menurut Widodo, petani perlu diberi pendampingan agar bisa membuat sendiri pupuk organik untuk tanaman sawit.
"Sebab kalau hanya mengandalkan bahan dari kotoran sapi sudah dipastikan petani susah mencari bahan bakunya," katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Lampung Yuli Astuti menerangkan tanaman kebun yang mendapatkan pupuk subsidi hanya tiga jenis tanaman yaitu kopi, kakao dan tebu.
Menurutnya, jika memang petani sawit swadaya memerlukan pendampingan pihaknya akan melakukan koordinasi lebih dulu dengan bidang produksi.
"Boleh saya minta kelompok tani sawit mandiri daerah mana yang perlu pendampingan, nani akan kami tindak lanjuti," kata Yuli Astuti.
Dirinya juga mengaku sedang melakukan program petani rakyat dengan tujuan untuk mendampingi petani swadaya agar bisa mendapatkan hasil panen maksimal.
Namun Yuli belum bisa memberikan gambaran berapa kelompok tani kebun yang sudah masuk data program pembinaan petani rakyat. Alasannya masih tahap pendataan program belum berjalan.
Kata Ahli tentang Pupuk Organik
Guru Besar Fakultas Pertanian Unila yang merupakan dosen Jurusan Ilmu Tanah, Prof. Dr. Ir. Dermiyati, M.Agr.Sc memberi penjelasan mengenai penggunaan pupuk organik bagi tanaman sawit.
Pada dasarnya, kata Dermiyati, semua bahan organik bisa digunakan sebagai bahan baku pupuk organik. Pada pertanaman sawit, batang, cangkang, tandan kosong semua bisa jadi bahan untuk pupuk organik.
"Demikian juga limbah cair atau limbah padat dari proses industri minyak goreng bisa jadi bahan baku pupuk organik," kata Dermiyati.
Tanaman penutup tanah (cover crop) dari tanaman legum atau legume cover crop selain sebagai mulsa yang berperan untuk konservasi tanah dan air.
LCC tersebut juga, terang Dermiyati, bisa sebagai bahan organik atau pupuk organik bagi tanaman sawit karena tanaman legume dapat mengikat nitrogen (N) dari udara karena adanya bakteri rhizobium yang hidup di bintil akar.
"Sehingga LCC yang diaplikasikan ke tanaman sawit dapat menyumbangkan N bagi tanaman sawit"jelas Dermiyati.
Lanjutnya semua sumber bahan organik bisa dijadikan sebagai pupuk organik padat, pupuk organik cair, dan pupuk hayati (biofertilizer).
Biofertilizer merupakan pupuk organik yang mengandung mikroba sehingga dapat membantu ketersediaan hara tanaman, khususnya N dan P.
Perlu diketahui pemupukan juga dilihat dari tanaman sawit dibedakan antara Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan Tanaman Menghasilkan (TM).
"Karena kebutuhan nutrisinya juga berbeda. Pada TBM lebih kepada untuk pertumbuhan (vegetatif) dan TM pada pembuahan (generatif). Sehingga pola pemupukannya juga berbeda," terangnya.
Perbedaannya pada unsur hara yang diberikan. Pada TBM lebih banyak diberikan N untuk pertumbuhan, sedangkan untuk pembuahan lebih banyak P dan K.
Semuanya N, P, dan K dibutuhkan selama pertumbuhan tanaman. Dermiyati mengatakan, waktu pemupukannya disesuaikan dengan kebutuhan hara tanaman, sebaiknya berimbang antara pupuk organik dan pupuk anorganik.
Pakar pupuk kompos Suprayitno warga Kabupaten Lampung Timur, Lampung menegaskan bahwa petani sawit swadaya jangan khawatir dengan penggunaan pupuk kompos.
Menurutnya tanaman apapun harus menggunakan kompos yang diimbangi dengan pupuk anorganik.
Sementara efek dari pupuk kimia cukup buruk terhadap unsur tanah sehingga dampaknya bisa memadatkan tanah, membunuh unsur mikroba didalam tanah, dan lama lama tanah kehilangan organik.
"Sementara pertumbuhan tanaman tergantung dengan akar jika unsur tanah rusak maka akar tanaman juga akan mudah rusak," terang dia.
Sebenarnya pupuk organik kata dia, cukup bagus untuk produksi buah namun karena petani cara menggunakannya salah sehingga berasumsi pupuk organik merusak tanaman.
Jika ingin menggunakan pupuk kandang, Suprayitno menerangkan, sebelum ditabur pada tanaman harus diolah lebih dulu, karena pupuk kandang dari kotoran apapun seperti kotoran sapi, mengandung bibit gulma bawaan dari rumput, dan mengandung bibit penyakit berupa bakteri dan jamur.
"Kalau pupuk kandang digunakan tanpa diolah, dan dipupukkan pada tanaman sawit maka akan muncul penyakit uret semacam telur kumbang dampaknya pelepah muda tanaman sawit akan rusak dimakan," kata Suprayitno.
Kalau penggunaan pupuk organik dilakukan secara tepat diolah sebelum digunakan maka produksi sawit akan lebih bagus daripada pupuk kimia. Buah akan lebih padat dan unsur tanah akan semakin bagus.
"Perlu diakui menggunakan pupuk organik tenaganya lebih ekstra bila dibanding pupuk kimia, tapi kalau modal lebih ringan jika dibanding pupuk kimia yang nonsubsidi," ucapnya.
Kontributor : Agus Susanto