Tasmalinda
Minggu, 14 Desember 2025 | 15:25 WIB
Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya (tengah) berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (11/12/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik
  • Korupsi kepala daerah sering berakar dari utang kampanye mahal saat fase perebutan kekuasaan politik berlangsung.
  • Bupati Lampung Tengah diduga menerima dana untuk melunasi pinjaman kampanye Pilkada 2024 melalui aliran dana miliaran.
  • Mahalnya biaya politik menciptakan insentif struktural bagi kepala daerah baru melakukan korupsi awal jabatan.

SuaraLampung.id - Korupsi kepala daerah di Indonesia jarang terjadi secara tiba-tiba. Dalam banyak kasus, praktik rasuah justru berakar sejak fase awal perebutan kekuasaan, ketika ongkos politik yang mahal mendorong kandidat menumpuk utang demi memenangkan kontestasi.

Pola lama ini kembali mengemuka dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya. Dalam konstruksi perkara yang terungkap ke publik, Ardito diduga menerima aliran dana miliaran rupiah, dengan sebagian besar di antaranya digunakan untuk melunasi pinjaman bank yang berkaitan langsung dengan kebutuhan kampanye Pilkada 2024.

Fakta ini memperlihatkan satu benang merah yang kerap muncul dalam perkara korupsi daerah: jabatan politik diperoleh melalui biaya besar, lalu kekuasaan dipakai untuk menutup beban finansial tersebut.

Praktik utang kampanye sebenarnya bukan hal baru dalam politik lokal. Ia telah lama menjadi kebiasaan yang “dimaklumi”, selama kandidat mampu melunasi kewajibannya setelah terpilih. Namun, masalah muncul ketika sumber pelunasan utang tidak lagi berasal dari dana pribadi, melainkan dari penyalahgunaan kewenangan, pengadaan bermasalah, atau aliran uang ilegal yang bersumber dari anggaran publik.

Kasus Lampung Tengah menunjukkan bagaimana utang kampanye dapat berubah dari urusan privat menjadi persoalan publik. Ketika beban finansial pasca-pemilu terlalu besar, kepala daerah berada dalam posisi rawan: tekanan untuk mengembalikan modal sering kali mengalahkan prinsip tata kelola dan integritas jabatan.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu daerah. Sejumlah kasus korupsi kepala daerah dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan pola serupa: biaya kampanye tinggi, ketergantungan pada modal besar, lalu praktik korupsi yang muncul di awal masa jabatan. Lampung Tengah kini menambah daftar panjang contoh bagaimana siklus tersebut terus berulang.

Persoalan semakin kompleks ketika partai politik gagal menjalankan fungsi kaderisasi yang kuat. Kandidasi kepala daerah kerap lebih ditentukan oleh kemampuan finansial dan popularitas, bukan rekam jejak kepemimpinan. Akibatnya, kontestasi politik berubah menjadi investasi berisiko tinggi, dengan korupsi sebagai “jalan pintas” untuk menutup kerugian.

Di titik ini, kasus Lampung Tengah tidak lagi berdiri sebagai perkara individual. Ia menjadi cermin dari problem struktural dalam sistem politik lokal, di mana mahalnya ongkos demokrasi menciptakan insentif kuat bagi penyalahgunaan kekuasaan. Selama utang kampanye tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari perebutan jabatan, korupsi kepala daerah akan terus menemukan jalannya.

Lampung Tengah hanyalah contoh terbaru. Tanpa pembenahan serius pada pembiayaan politik dan mekanisme pencalonan, pola lama ini berpotensi kembali terulang di daerah lain—dengan aktor berbeda, tetapi skema yang sama.

Baca Juga: Bupati Lampung Tengah Kena OTT KPK dari Partai Apa? Ardito Ternyata Baru Gabung Golkar

Load More