SuaraLampung.id - Presiden Sukarno alias Bung Karno pernah menulis tentang Islam yang memilih judul kontroversial yaitu Islam Sontoloyo.
Sejarawan Islam Zainul Milal Bizawie membahas soal tulisan Bung Karno yang kontroversial pada era prakemerdekaan, yakni Islam Sontoloyo.
Zainul membahasnya pada acara "Inspirasi Ramadhan" dengan tema Inspirasi Keteladanan Islam Bung Karno dalam akun YouTube BKN PDIP di Jakarta, Kamis (14/4/2022).
Menurut dia, tulisan Islam Sontoloyo Bung Karno adalah salah satu karya autokritik agar umat Islam Indonesia memiliki pemikiran yang maju dan tidak kuno.
Zainul menuturkan bahwa tulisan Islam Sontoloyo itu pernah dimuat di Surat Kabar Pemandangan pada tahun 1940. Tulisan itu menyimpan cita-cita Soekarno yang ingin Islam menjadi agama yang maju sehingga menjadikannya sebagai api sejarah peradaban.
"Bung Karno sangat ingin Islam sebuah kemajuan. Oleh karena itu, Bung Karno melihat Islam ini sebagai sebuah api Islam atau api sejarah," tuturnya dalam siaran persnya.
Ia menjelaskan istilah Islam sontoloyo yang dipilih oleh Bung Karno memang menjadi kontroversi pada zamannya. Akan tetapi, dia mengingatkan jangan terjebak terhadap kata tersebut.
"Jadi, memahami kata itu jangan langsung buat Islamnya yang sontoloyo. Akan tetapi, muslimnya yang sontoloyo," katanya.
Sebagai seorang sejarawan, Zainul menjelaskan apa sebenarnya tujuan Sukarno menulis Islam sontoloyo, yaitu sebagai upaya membuka pikiran muslim Indonesia agar lebih maju sehingga mampu meramu ajaran islam yang lebih segar dan kontekstual.
"Saya kira maksud dari Bung Karno ini arahnya adalah sebagai seorang muslim bangsa Indonesia ini jangan hanya mengimpor sesuatu yang lama saja tanpa ada perubahan-perubahan, harus fleksibel harus elastis harus meramu kembali ajaran Islam ini sehingga kontekstual dan bisa menjawab tantangan-tantangan bangsa," ungkap Zainul.
Sejarawan kelahiran Pati ini mengatakan bahwa Islam di mata Soekarno memiliki fleksibilitas, dinamisitas, dan progresivitas. Ada paham-paham yang sudah pakem. Akan tetapi, di lain sisi ada bagian-bagian yang dapat diubah sesuai dengan konteksnya.
"Bung Karno melihat Islam itu sangat dinamis sekali, progresif sekali sehingga semua pihak harus melihat ada paham-paham yang itu tidak dapat diubah tetapi juga Islam sangat kontekstual," ujarnya.
Menurut Zainul, jika Islam tidak disesuaikan dengan kondisi sekarang, akan terdegradasi. Selain itu, kekunoan pola pikir akan membuat bangsa Indonesia kalah dari bangsa-bangsa lain yang lebih maju.
"Kalau tidak melakukan perubahan-perubahan menyesuaikan zaman nanti, muslim akan sontoloyo. Jadi, kayak Islam tuh tidak bisa apa-apa, enggak bisa menjawab apa-apa hanya bisa menjawab hal-hal yang bersifat kuno sehingga artinya bangsa Indonesia ini. Kalau muslimnya seperti itu, pasti akan kalah dengan bangsa-bangsa lain," tegas Zainul. (ANTARA)
Berita Terkait
Terpopuler
- Lagi Jadi Omongan, Berapa Penghasilan Edi Sound Si Penemu Sound Horeg?
- Tanpa Naturalisasi! Pemain Rp 2,1 Miliar Ini Siap Gantikan Posisi Ole Romeny di Ronde 4
- 5 Pemain Timnas Indonesia yang Bakal Tampil di Kasta Tertinggi Eropa Musim 2025/2026
- Brandon Scheunemann Jadi Pemain Paling Unik di Timnas Indonesia U-23, Masa Depan Timnas Senior
- Siapa Sebenarnya 'Thomas Alva Edi Sound Horeg', Begadang Seminggu Demi Bass Menggelegar
Pilihan
-
9 Negara Siaga Tsunami Pasca Gempa Terbesar Keenam Sepanjang Sejarah
-
Bantah Sengaja Pasang 'Ranjau' untuk Robi Darwis, Ini Dalih Pelatih Kim Sang-sik
-
Dikritik Habis Legenda, Pemain Timnas Indonesia U-23 Tetap Diguyur Bonus Ratusan Juta
-
Selamat Tinggal Gerald Vanenburg! Resmi Tak Latih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025
-
Sebelum Justin Hubner, Pemain Keturunan Maluku Lebih Dulu Gabung Fortuna Sittard
Terkini
-
Terungkap Penyebab 14 Ribu Hektare Lahan di Lampung Tak Bersertifikat
-
Rekomendasi 6 Popok Bayi Paling Nyaman, Si Kecil Anti Rewel dan Bebas Ruam!
-
Ukur Ulang Lahan SGC? Ini Penjelasan Menteri ATR/BPN
-
Target Menteri ATR/BPN: 25 Ribu Tanah Wakaf di Lampung Harus Bersertifikat dalam 3 Tahun
-
Nusron Wahid Geram! Korporasi Lampung Abaikan Hak Masyarakat Atas Plasma