Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Kamis, 16 Desember 2021 | 13:31 WIB
Nelayan pesisir di Labuhan Maringgai, Lampung Timur, melarung sesajen, Kamis (16/12/2021). [Suaralampung.id/Agus Susanto]

SuaraLampung.id - Nelayan pesisir Labuhan Maringgai, Lampung Timur, memiliki tradisi melarung (membuang) kepala kerbau ke tengah laut. Tradisi yang biasa disebut Nadran ini dilaksanakan setahun sekali. 

Setelah dua tahun tidak menggelar tradisi Nadran karena pandemi Covid-19, nelayan Labuhan Maringgai, Lampung Timur, kembali mengadakan Nadran pada Kamis (16/12/2021). 

"Nadran kami lakukan setiap tahun sekali, namun dua tahun kemarin tidak kami lakukan. Hari ini kami melakukannya lagi," kata Kepala Desa Muara Gadingmas Wahyono, Kamis (16/12/2021).

Nadran (Nazar) merupakan bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta, agar mendapatkan berkah dan rezeki berlimpah.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Bicara Soal Modernisasi Hingga Database Nelayan

Kata Wahyono Nadran yang dilakukan nelayan Muara Gadingmas yakni dengan membuang potongan kepala kerbau, dan beberapa sesaji lainnya.

"Kepala kerbau, jajan pasar, nasi tumpeng, ayam hidup yang kita kasih nama sesaji, tapi tujuan kami bukan hal yang musyrik itu bentuk syariat kami yang dikemas dalam bentuk budaya," ujar Wahyono.

Setelah sesaji dikemas rapi di dalam perahu kecil, lalu dilarungkan atau dibuang ke tengah laut. Puncak seni pada nadran di Muara Gadingmas saat sesaji menuju tengah laut, puluhan kapal mengikuti, mengelilingi perahu yang membawa sesaji.

Ketika tiba di tempat yang dituju, lalu nelayan akan terjun ke laut berebut sesaji.

"Anak anak remaja, orang dewasa berebut sesaji melompat dari kapal. Menurut keyakinan mereka akan membawa berkah, dan itu sudah tradisi kami," ucap Wahyono.

Baca Juga: Tiga Kadis Mundur, Bupati: Lampung Timur Butuh Pejabat yang Mau dan Mampu Laksanakan Tugas

Kenapa harus menumbalkan kepala kerbau?

Kata Wahyono kepala kerbau merupakan simbol yang memiliki filosofi kemakmuran. Yang dibuang ke tengah laut bukan hanya kepala kerbau, melainkan kaki dan ekor, sementara organ lainnya tetap dikonsumsi untuk makan bersama.

Lanjutnya, pesta nadran memiliki potensi sebagai objek wisata, karena ada pemandangan menarik saat nadran yakni bisa melihat puluhan kapal yang memburu kapal sesaji, dan bisa melihat anak anak berebut sesaji dengan cara berenang. 

"Karena kondisi masih terbayang Covid 19 jadi warga dari luar kecamatan tidak ada yang hadir. Bahkan tahun 2019 dan 2020 kami tidak melakukan Nadran," pungkas Wahyono.

Kontributor: Agus Susanto

Load More