Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Senin, 08 November 2021 | 09:41 WIB
Padang savana di Lampung Timur sebagai bagian ekowisata di Desa Braja Harjosari. [Dok Pokdarwis Desa Braja Harjosari]

SuaraLampung.id - Kabupaten Lampung Timur memiliki wisata savana yang tak kalah indahnya dengan daerah lain di Indonesia. Wisata savana ini berada di Desa Desa Braja Harjosari dan Desa Braja Yekti.

Warga Desa Braja Harjosari dan Desa Braja Yekti, Lampung Timur, mengelola paket ekowisata. Salah satunya adalah melihat padang savana yang terbentang di kedua desa itu. 

Untuk melihat padang savana di Desa Braja Harjosari dan Desa Braja Yekti, Lampung Timur, wisatawan menyusuri sungai yang membelah padang savana. 

Membuat Ekowisata karena ada konflik gajah liar dan petani

Baca Juga: 7 Wisata di Bali Tersembunyi, Indahnya Nggak Ada Obat

Ketua Pokdarwis Desa Braja Harjosari, Toni mengatakan warga berinisiatif membuat ekowisata untuk mencegah terjadinya konflik dengan gajah liar. 

Sebelum tahun 2015 sering terjadi konflik gajah liar dan petani di Desa Braja Harjosari dan Desa Braja Yekti. Dua desa ini merupakan desa penyangga Taman Nasional Way Kambas (TNWK).

Wisatawan asing mengunjungi ekowisata di Desa Braja Harjosari dan Desa Braja Yekti, Lampung Timur. [Dok Pokdarwis Desa Braja Harjosari]

Gajah liar sering merusak lahan petani setempat. Setelah 2016, Pokdarwis Braja Harjosari bekerjasama dengan konsorsium Universitas Lampung (Unila) Alert, membentuk ekowisata.

Tujuannya agar tidak lagi terjadi konflik gajah liar dengan petani. Diharapkan dengan adanya ekowisata, gajah liar tak lagi berani masuk ke dua desa tersebut. Gajah memiliki kebiasaan takut mendekat jika melihat ada kerumunan manusia. 

Kata Toni potensi ekowisata dipiilh karena mengutamakan aspek konservasi. Jenis wisata ini sangat diminati wisatawan asing dan wisatawan domestik.

Baca Juga: Agrowisata Organik Dikembangkan, Pemkab Berharap Wisata Pantai Samas Jadi Primadona Lagi

"Paket wisata yang kami jual ringan tapi diminati, seperti menanam padi, mengambil getah karet, kebun jeruk, menaiki gerobak sapi, dan pantauan satwa burung malam. Paket andalan yaitu susur sungai batas hutan TNWK dan perkampungan, kata Toni.

Satu rombongan wisatawan untuk satu lokasi wisata dikenakan tarif sebesar Rp 250 ribu. Tarif itu dibagi lagi dimana Rp 25 ribu untuk kas desa, Rp 25 ribu untuk kas Pokdarwis dan Rp 200 ribu untuk pemilik objek wisata.

"Kalau wisatawan ingin melihat tanaman jeruk atau menanam padi, dan sejenisnya uang Rp 200 ribu diberikan pemilik lahan. Satu rombongan berjumlah 5 orang," kata Toni.

Para wisatawan menanam padi di Desa Braja Harjosari, Lampung Timur, lokasi ekowisata. [Dok Pokdarwis Desa Braja Harjosari]

Kenapa ekowisata bisa menanggulangi konflik gajah?

Toni menjelaskan sejumlah lokasi wisata berada tidak jauh dari pinggir hutan TNWK. Banyaknya aktivitas manusia membuat rombongan gajah liar tidak berani mendekati lahan pertanian.

Tak jarang wisatawan asing menikmati alam pada malam hari di pinggir hutan untuk memantau burung malam. Hal tersebut secara tidak langsung bisa menanggulangi gajah liar untuk tidak masuk peladangan.

"Betul tidak setiap hari ada wisatawan, namun gajah memiliki daya ingat tinggi jika lokasi tersebut sering di gunakan aktivitas manusia maka gajah tidak akan lagi mau mendatangi lokasi dimaksud," kata Toni.

Menjadi sumber ekonomi

Wisatawan asing dari Australia, Amerika, Jerman, Belgia, Singapura, Jepang dan Filipina, adalah wisatawan luar negeri yang sering berkunjung ke lokasi ekowisata.

Setiap berkunjung wisatawan asing memilih menginap, Masyarakat menyadari ada peluang usaha dengan membuat homestay. Di Desa Braja Harjosari saat ini ada delapan Homestay yang dikelola oleh pemilik masing masing.

"Seperti saya juga punya homestay. Satu malam kami pungut biaya Rp 200 ribu plus sarapan pagi. Biasanya wisatawan asing bermalam hingga lima hari," kata Toni.

Namun sejak Indonesia dilanda pandemi Covid-19 dua tahun belakangan, ekowisata di dua desa itu sepi. Padahal sebelumnya, dalam satu bulan bisa tiga kali rombongan wisatawan dari luar negeri tiba di desa penyangga.

Hujan mengguyur Dusun Gunung Agung, Kecamatan Braja Selebah, Lampung Timur, Lampung, Minggu (7/11/2021). Homestay dengan bercorak khas Bali dengan pelataran penuh tanaman bunga berbagai jenis, kantil, kenanga, Kamboja dan lainnya, menjadi selimut alami lokasi Homestay milik Toni.

Jadi Lokasi Penelitian

Sepuluh mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia berada di Desa Braja Harjosari dan Desa Braja Yekti, Lampung Timur, untuk mengerjakan Studi Independen Bersertifikat (SIB).

Program SIB adalah program yang digalakkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Nama program tersebut yakni Kampus Merdeka berdasarkan Pemendikbud No.3 tahun 2020 tentang standar Nasional pendidikan tinggi.

"Ini sepuluh mahasiswa yang saat ini sedang melakukan SIB selama tiga bulan, dari Oktober hingga Januari," ucap Toni selaku pendamping mahasiswa tersebut selama melakukan Studi Independen Bersertifikat.

Kata Toni, dari sepuluh mahasiswa dibagi dua kelompok. Lima orang di Desa Braja Harjosari dan lima orang di Braja Yekti.

Kedua desa tersebut merupakan desa penyangga hutan Way Kambas yang memiliki potensi Ekowisata, sehingga kehadiran sepuluh mahasiswa yang di tugaskan melalui program Kemendikbud itu bertujuan untuk membentuk SDM dua desa penyangga tersebut terkait pengelolaan kawasan ekowisata.

"Sebenarnya program ekowisata di desa kami sudah berjalan, dengan sistem ekowisata paket. Pengunjungnya mayoritas dari luar negeri, ada juga wisatawan domestik. Kehadiran adik-adik mahasiswa ini bisa menambah SDM kepada masyarakat tentang pengelolaan dan pemasarannya," tutur Toni.

Siti Nurjanah, Mahasiswa Universitas Telkom, Kalimantan Timur, mengatakan hasil dari pengamatannya selama satu bulan, Desa Braja Yekti memiliki potensi ekowisata luar biasa. Namun karena SDM yang kurang mampu sehingga potensi tersebut tidak tergali.

"Sehingga tugas kami disini, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pengelolaan ekowisata dimaksud, sehingga bisa menciptakan putaran ekonomi masyarakat dalam jangka panjang," kata Siti Nurjanah.

Lanjutnya Desa Braja Yekti memiliki anggota Pokdarwis namun sudah vakum selama enam tahun ini. Sehingga persoalan tersebut menjadi tantangan para mahasiswa untuk menghidupkan semangat Pokdarwis setempat.

Sementara kata Mahmud, mahasiswa asal Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, Desa Braja Harjosari dan Braja Yekti memiliki potensi wisata alam seperti savana dan lokasi pantauan berbagai satwa jenis unggas (burung) ada juga potensi wisata kebudayaan Indonesia yang bisa menarik hasrat wisatawan luar negeri.

"Hanya satu kendala yakni pengelolaan dan market saja. Khususnya untuk Desa Braja Yekti kalau Desa Braja Harjosari sudah lumayan bagus manajemennya," kata Mahmud.

Kontributor: Agus Susanto

Load More