Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Selasa, 19 Oktober 2021 | 07:10 WIB
Ilustrasi Deretan alutsista TNI terparkir di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (4/10/2021). Pemilihan Panglima TNI saat ini mengarah ke konflik internal matra. [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraLampung.id - Siapa sosok Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto masih misteri. Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga kini belum juga mengajukan nama calon Panglima TNI ke DPR RI. 

Belum adanya nama calon Panglima TNI pilihan Presiden Jokowi ditengarai kental nuansa politik. 

Direktur Indo Strategi Research and Consulting Arif Nurul Imam menyatakan intrik politik telah masuk ke institusi TNI dalam pemilihan panglima.

"Jabatan Panglima TNI memang tidak lepas dari variabel politik. Meski kita sadar, TNI adalah institusi yang dilarang untuk berpolitik praktis," kata Arif dalam keterangan tertulis Jakarta, Senin (18/10/2021) dikutip dari ANTARA.

Baca Juga: Direktur ISRC: Perang Narasi yang Vulgar Soal Calon Panglima TNI Ancam Soliditas Internal

Arif menyatakan yang berhak mengangkat Panglima TNI adalah pejabat yang lahir dari proses politik, yakni Presiden. Oleh karena itu, pemilihan Panglima TNI muncul dukung-mendukung, termasuk dari DPR.

Meski demikian, Arif menilai proses tersebut masih dalam situasi terkendali.

Menurut dia, saat ini telah terjadi perang narasi yang sangat keras dan vulgar. Situasi itu jelas tidak menguntungkan bagi TNI.

Selain bisa mengancam soliditas internal, di sisi lain bisa memicu terjadinya disintegrasi bangsa.

"Yang perlu dijaga adalah menjaga soliditas internal TNI. Setelah terpilih, TNI harus satu komando, siapa pun Panglima TNI-nya," kata Arif.

Baca Juga: Dikira Nyogok, Rachel Vennya Klarifikasi Soal Anaknya Bisa Naik Pesawat

Pekerjaan rumah bagi Panglima TNI yang baru, kata dia, dengan membuktikan rekam jejak dan karakter kepemimpinan masa lalu.

Ia mengutarakan bahwa situasi pemilihan Panglima TNI kali ini juga mengarah pada konflik internal matra, terjadi dukung-mendukung yang tidak sehat.

Ini sebagai bentuk politisasi jabatan Panglima TNI yang dijadikan batu pijakan untuk Pilpres 2024.

"Memang jabatan Panglima TNI strategis karena setelah purna rata-rata memiliki daya tawar politik sehingga dilirik oleh publik dan kekuatan politik," kata Arif menegaskan.

Ditekankan pula bahwa dukung-mendukung semacam itu tidak boleh ganggu soliditas TNI. Hal ini mesti didorong agar makin profesional.

Ia menegaskan bahwa kursi Panglima TNI adalah kursi penting dalam politik Indonesia. Kursi tersebut bisa membuka karier seseorang di dunia politik nasional.

"Jabatan Panglima TNI jelas seksi karena bisa menjadi gerbang untuk kekuasaan," ujarnya.

Kursi Panglima TNI adalah jabatan tertinggi di TNI. Jabatan itu akan menjadi sorotan publik dan masuk dalam lingkaran elite kekuasaan. Hal tersebut, kata Arif, terbukti dengan sejumlah mantan Panglima TNI yang hidup di kekuasaan, seperti Wiranto hingga Moeldoko.

Arif pun mengaku kans untuk para mantan panglima menduduki jabatan seksi di pemerintahan tinggi, bahkan bisa menjadi kandidat capres/cawapres hingga membuat "kereta sendiri" dengan membentuk partai politik.

Diketahui bahwa Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan pensiun pada bulan November 2021.

Dua nama yang santer menjadi kandidat Panglima TNI selanjutnya adalah Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Yudo Margono. (ANTARA)

Load More