Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Kamis, 07 Oktober 2021 | 12:35 WIB
Ilustrasi Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Marwata cerita mendapat pesan dari kontraktor yang kalah tender proyek pemerintah. [Suara.com/Welly]

"Sistem elektronik memang sudah ada tapi kondsinya seperti itu, intinya perusahaan kontraktor harus keluar uang juga agar seakan-akan ada proses tender lewat e-procurment tapi yang menang harus perusahaan tertentu," tambah Pahala.

Komposisinya, menurut Pahala, dari nilai kontrak 100 persen, maka kontraktor akan mengambil keuntungan sebesar 10-15 persen, selanjutnya untuk komitmen kepastian anggaran sebesar 7 persen, "commitment fee" sebesar 20 persen, manipulasi laporan pengadaan sebesar 5 persen sehingga nilai riil bangunan kurang dari 50 persen.

"Kenapa jembatan atau bangunan yang roboh dan lainnya, setelah saya berbicara dengan kontraktor-kontraktor ya karena banyakan potongan sehingga kualitas bangunan pemerintah tidak yang terbaik, sedangkan bila sumber dana dari swasta atau konsultan pengawas berasal dari luar negeri maka kualitas bangunan bisa maksimal," ungkap Pahala.

Dengan nilai riil bangunan hanya 50 persen dari kontrak pengadaan, menurut Pahala, menyebabkan banyak inefisiensi.

Baca Juga: Kasus Dana Hibah Kolaka Timur, KPK Panggil Deputi Logistik dan Peralatan BNPB

"Dampak korupsi pengadaan konstruksi ini sangat besar, kalau hanya 50 persen nilai riil bangunan maka dengan anggaran yang sama seharusnya dapat 2 jembatan, akhirnya cuma dapat 1 jembatan, kalau Rp100 miliar bisa untuk jalan berusia 5 tahun tapi kalau ada korupsinya jalanan yang baru berumur 2 tahun harus keluar uang untuk pemeliharaan, jadi inefisiensi di mana-mana," jelas Pahala. (ANTARA)

Load More