Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Sabtu, 11 September 2021 | 11:32 WIB
De Lampongsche Volkscredietbank, BPR Lampung di masa kolonial. [ISTIMEWA]

SuaraLampung.id - Pada masa lalu di Lampung pernah berdiri sebuah Bank Perkreditan Rakyat Lampung, yang sedikit-banyak punya kontribusi terhadap sejarah perkembangan Lampung mulai tahun 1911-1929.

De Lampongsche Volkscredietbank adalah semacam Bank Perkreditan Rakyat Lampung, yang didirikan pada bulan Maret 1911.

De Lampongsche Volkscredietbank atau BPR Lampung juga dikenal sebagai Bank Kolonisasi.

Disebut demikian karena bank ini memberikan pinjaman kepada para kolonis sebagai modal untuk memulai kehidupan barunya di tanah kolonisasi.

Baca Juga: Raih Medali di PON XX Papua, Atlet Bandar Lampung Dijanjikan Bonus Melimpah

Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya perubahan kebijakan sistem pelaksanaan kolonisasi, yang semula para kolonis mendapatkan fasilitas di tanah kolonisasi secara gratis, kemudian diubah menjadi diberi pinjaman yang dalam jangka waktu tertentu para kolonis harus mengembalikan pinjaman itu.

Kebijakan ini dinamakan dengan Kolonisasi Sistem Utang, yang mulai diberlakukan pada tahun 1912. Karena berurusan dengan keuangan, maka pengelolaan program kolonisasi diserahkan kepada seorang administratur bank, yang juga merangkap sebagai kepala bank.

Diserahkannya pengelolaan kolonisasi ini kepada pihak Bank Rakyat Lampung dimulai pada tahun 1915, yang pada sebelumnya 1905-1914 dipegang pengelolaannya oleh Asisten Residen.

Wewenang Bank Rakyat Lampung ini tidak hanya sekedar memberikan pinjaman modal kepada para kolonis, lebih jauh dari itu segala pembiayaan yang berkaitan dengan pembukaan lahan, pengeringan lahan, hingga pembangunan wilayah kolonisasi menjadi tanggung jawab dan wewenangnya.

Pada tahun 1923-1924 terjadi malapetaka gagal panen di kolonisasi Kota Agung, sehingga Bank Rakyat Lampung harus memberikan fasilitasi pinjaman kepada para kolonis untuk dapat bertahan.

Baca Juga: Gagal, Penyelundupan Benih Lobster Asal Lampung Senilai Rp 14 Miliar

Ternyata kondisi ini semakin memberatkan kondisi Bank Rakyat Lampung, karena para kolonis semakin kesulitan membayar utang-utangnya.

Tidak jarang pula banyak kolonis yang meninggalkan tanah kolonisasi karena tidak dapat membayar utang-utangnya. Hal ini ditambah faktor eksternal sejak tahun 1922 perekonomian dunia sedang lesu karena akibat Perang Dunia I (malaise). Sehingga kondisi Bank Rakyat Lampung mulai menunjukkan gejala tidak sehat.

Pada tahun 1926 diindikasikasikan adanya praktik kecurangan dan korupsi dalam pelaksanaan kolonisasi, yang tentu melibatkan Kepala Bank Rakyat Lampung sebagai pengelola pelaksanaan kolonisasi dengan sistem utang.

Hal ini jelas mudah terjadi karena sebagai pemimpin program dan pengelolaan keuangan berada dalam satu pihak, sehingga tidak ada kontrol pemakaian keuangan.

W.C. Schalkwijk yang ketika itu sebagai Kepala Bank Rakyat Lampung kemudian diberhentikan dari jabatannya, dan seluruh jajaran pengelola kolonisasi di Lampung (mantri kolonisasi) dipecat dari jabatannya.

Pelaksanaan investigasi terus dilakukakan dalam beberapa tahun, sementara itu program kolonisasi dengan sistem utang terus dilaksanakan yang pengelolaannya diambil alih oleh Residen M.C. Ingram, seorang gezaghebber (Letnan Gubernur) di Teluk Betung.

Sayangnya, dalam pengelolaan Residen Ingram, pelaksanaan kolonisasi tidak terlalu mendapat perhatian serius. Berada dalam kondisi kekacauan dalam pengelolaan keuangan program kolonisasi, membuat residen ini tidak tertarik untuk memberikan perhatian lebih.

Akan tetapi, telah berjalan juga kolonisasi sukarela yang ternyata berbiaya rendah, meskipun tidak banyak jumlah keluarga yang mau mengikuti program ini.

Sesuai dengan namanya kolonisasi ini berjalan atas kesukarelaan dari para calon kolonis yang sedia untuk dipindahkan.

Pemerintah ketika itu hanya cukup mengeluarkan biaya untuk pengumpulan dan transportasi saja, dan sesampainya di tanah kolonisasi, para kolonis harus mengurus dirinya sendiri dengan meminta bantuan para kolonis yang terlebih dahulu datang.

Hal inilah yang kemudian menjadi inspirasi pada kemudian hari munculnya kolonisasi Sistem Bawon yang berbiaya murah pada tahun 1930-an.

Nasib Bank Rakyat Lampung pada tahun 1928 semakin diujung tanduk. Defisit keuangan semakin bertambah berat karena banyak kolonis yang tidak mampu membayar utang-utangnya.

Surat kabar De Sumatra Post yang terbit pada 9 Januari 1929 mewartakan selesainya investigasi kasus kecurangan-kecurangan dari W.C. Schalkwijk, dan pada tahun itu juga penyelenggaraan kolonisasi dengan sistem utang dihapuskan, serta Bank Rakyat Lampung dilikuidasi. Segala kerugian keuangan kemudian dibebankan kepada pemeritah pusat.

Penulis: Kian Amboro (Sejarawan UM Metro)

NB:

Artikel ini terbit atas kerjasama Suaralampung.id dan Sahabat Dokterswoning

Load More