Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Selasa, 31 Agustus 2021 | 18:10 WIB
Gereja Katedral Kristus Raja di Bandar Lampung jadi awal penyebaran Katolik di Lampung. [keuskupantanjungkarang.org]

SuaraLampung.id - Gereja Katolik pertama yang secara resmi memulai aktivitas keagamaannya di Lampung ialah Gereja Katedral Kristus Raja di Kota Bandar Lampung. 

Gereja Katedral Kristus Raja didirikan pada tahun 1928. Pendirinya ialah seorang pastor Katolik berkebangsaan Belanda bernama H.J.D. van Oort dari Kongegrasi SCJ (Sacro Corde Jesu, Serikat Hati Kudus Yesus).

Pastor H.J.D. van Oort diutus untuk pergi ke Lampung dan kemudian mendirikan sebuah gereja Katolik di Tanjung Karang, persisnya di seberang Stasiun Kereta Api Tanjung Karang, yang diresmikan pada 16 Desember 1928.

Gereja yang didirikan oleh Pastor van Oort ini lantas berkembang menjadi katedral ini yang kemudian menjadi pusat bagi semua kegiatan penyebaran Injil yang dilakukan oleh Gereja Katolik di Lampung (Budhiatmaja, et.al., 2004:8).

Baca Juga: Ditegur Mendagri Belum Bayar Insentif Nakes, Ini Kata Pemkot Bandar Lampung

Sebelum dikirim ke Lampung, Pastor van Oort bertugas di Palembang dan dikenal telah mendirikan banyak stasi atau perkumpulan umat di sana.

Kurang lebih dalam tiga tahun pertama kegiatan Gereja Katolik masih terfokus di Tanjung Karang dan Teluk Betung saja yang notabene merupakan pusat pemerintahan Karesidenan Lampung.

Namun peta demografi Lampung yang semakin dipenuhi oleh para kolonis dari Jawa tentu menjadi tempat yang dinilai tepat untuk meluaskan jangkauan penyebaran agama Katolik yang tidak terbatas hanya di kawasan perkotaan saja.

Hal ini bisa didasarkan pada berkembangnya penyebaran Injil di kalangan orang-orang Jawa, terutama yang terpusat di Muntilan, Jawa Tengah dan Yogyakarta (Steenbrink, 2003:213-218).

Pada 1931 Gereja Katolik memasuki kawasan kolonisasi dengan mendirikan HIS (Hollandsche Inlandsche School), sekolah menengah untuk kaum bumiputra di Gedong Tataan.

Baca Juga: Selektif, PTM di Lampung Digelar Sesuai Ketentuan SKB 4 Menteri

Selain itu di Gisting juga didirikan sekolah pertanian, menyesuaikan dengan kawasan tersebut yang dipenuhi perbukitan serta perkebunan kopi (Steenbrink, 2007:352-354).

Sebelumnya otoritas gereja melalui Pastor van Oort meminta izin terlebih dahulu kepada Barkmeyer sebagai pemimpin proyek kolonisasi dan Residen Lampung Rookmaker untuk di wilayah tersebut (Provinsial SCJ Sumatera Selatan, 12).

Hingga 1940 tercatat ada 1.831 penganut Katolik di Lampung yang berasal dari kelompok bumiputra.

Mereka tersebar antara lain di Karangsari-Pasuruan (Kalianda), Metro, Pringsewu, dan Tanjung Karang yang sekaligus sudah resmi berdiri sebagai paroki (Endrayanto, 2012:40).

Salah satu faktor utama bagi perkembangan signifikan Gereja Katolik di Lampung adalah pelayanan sosial yang mereka lakukan khususnya dalam bidang kesehatan dan pendidikan.

Selain mendirikan HIS, sebelumnya Gereja Katolik juga mendirikan HCS (Hollandsch Chinese School) di Teluk Betung pada 1929.

Hingga 1938 Gereja Katolik di Lampung memiliki dua HIS, sebelas sekolah rakyat, dan dua sekolah lanjutan (vervolgschool). Ditambah lagi dengan Sekolah Melanie (Kartini School), Taman Kanak-kanak (Frobel), dan CVO (Cursus voor Volk Onderwijzer).

Bidang kesehatan juga menjadi fokus bagi pelayanan yang dilakukan Gereja Katolik di Lampung dengan mendirikan rumah sakit dan klinik bersalin yang antara lain terdapat di Pringsewu dan Metro.

Pembiayaan untuk rumah sakit dan klinik bersalin ini terutama disokong oleh orang-orang Belanda yang bekerja di onderneming atau perkebunan karet di Way Lima, Gedong Tataan, dan Natar.

Suster-suster dari Ordo Fransiskanes yang menjadi tulang punggung bagi pelayanan dalam bidang ini dengan diketuai oleh Suster Arnolde Wouters.

Di Pringsewu para suster setiap minggunya rutin mengunjungi para kolonis untuk memberikan bantuan pelayanan kesehatan secara langsung.

Pada 1942 seiring dengan menyerahnya Hindia Belanda pada Jepang menghentikan segala aktivitas keagamaan Gereja Katolik, termasuk lembaga pendidikan dan kesehatan.

Penulis: Willy Alfarius (Mahasiswa Pasca Sarjana Sejarah UGM )

NB

Artikel ini terbit atas kerjasama SuaraLampung.id dan Sahabat Dokterswoning

Load More