Pramono Edhie lalu meminta stafnya mencari tahu harga sebenarnya. Ternyata harga satu unitnya hanya Rp 19 juta. Ada selisih harga begitu besar dari yang ditawarkan pihak penjual.
Pramono Edhie lalu memerintahkan anak buahnya untuk menanyakan langsung ke pabriknya di Amerika Serikat. Nyatanya harga dari pabrik hanya Rp 9 juta. Edhie Pramono kaget.
Mengapa bisa terjadi selisih harga begitu tajam dari yang dijual pabrik dengan harga yang ditawarkan pihak ketiga. Pramono Edhie sempat ingin membeli langsung teropong dari pabriknya.
Namun pihak pabrik menolak. Sebab mereka sudah ada kesepakatan dengan broker di Singapura. Si Broker ini lantas membujuk Pramono Edhie untuk membeli teropong itu seharga Rp 24 juta per unit.
Bila Pramono Edhie setuju, ia akan mendapat bagian Rp 4 juta per unitnya. Saat itu TNI AD membutuhkan 50 ribu teropong untuk 100 batalyon.
Bisa dibayangkan berapa uang komisi yang diterima Pramono Edhie bila mau menerima tawaran itu. Dihitung-hitung uang komisi untuk Pramono Edhie sebesar Rp 20 miliar.
Namun Pramono Edhie menolak dengaan tegas rayuan si broker. Pramono Edhie membatalkan pembelian teropong dari si broker.
Bagi Pramono Edhie, pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) di TNI harus dilakukan secara bersih dan transparan.
Pro Kontra Tank Leopard
Baca Juga: Sri Mulyani: THR Buat PNS dan TNI-Polri Dicairkan Mulai Besok
Hal lain yang pernah dialami Pramono Edhie terkait alutsista TNI adalah saat ia ingin membeli tank leopard seharga 280 juta dolar Amerika.
Selama ini pengadaan alutsista TNI selalu melalui pihak ketiga alias agen. Keberadaan agen dalam bisnis alutsista ini dinilai Pramono Edhie merugikan negara.
Kerugiannya menurut Pramono Edhie lebih dari 30 persen. Saat itu Pramono Edhie berkeinginan membeli tank leopard tidak melalui agen.
Pramono Edhie ingin pembelian itu melalui mekanisme G to G atau antar pemerintah. Keputusan Pramono Edhie ini mendapat tentangan dari banyak pihak.
Ini karena banyak kepentingan yang terganggu dengan rencana tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, proyek pembelian senjata selalu melibatkan orang-orang tertentu.
Orang-orang itu hanya berorientasi pada keuntungan yang didapat tanpa melihat nilai strategis suatu barang. “Barang yang diminta tidak dibelikan. Barang yang dibeli tidak dibutuhkan,” kata Pramono Edhie menggambarkan orang-orang yang bermain di bisnis senjata.
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Sampaikan Laporan Kinerja, Puan Maharani ke Masyarakat: Mohon Maaf atas Kinerja DPR Belum Sempurna
Pilihan
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
5 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori 256 GB, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Geger Shutdown AS, Menko Airlangga: Perundingan Dagang RI Berhenti Dulu!
-
Seruan 'Cancel' Elon Musk Bikin Netflix Kehilangan Rp250 Triliun dalam Sehari!
-
Proyek Ponpes Al Khoziny dari Tahun 2015-2024 Terekam, Tiang Penyangga Terlalu Kecil?
Terkini
-
Jalan Lampung Rusak: DPRD Tagih Tanggung Jawab Perusahaan Bukan Cuma CSR
-
Pemkot Bandar Lampung Gelar Operasi Pasar di Seluruh Kecamatan Pekan Depan
-
Geger! SPPG di Bandar Lampung Diduga Cemari Lingkungan, DLH Turunkan Tim
-
Tragis! Adik Ipar Habisi Nyawa Kakak Ipar di Pringsewu Gara-Gara Ucapan Kucing Beranak
-
Jangan Takut! Bupati Lambar Perintahkan Pelajar Tolak Makanan Tak Layak di Program MBG