- Susno Duadji meminta pemilihan Kapolri wewenang penuh Presiden
- Pemilihan Kapolri oleh DPR rentan politisasi
- Dikhawatirkan Kapolri akan memiliki utang budi politik yang mengancam profesionalitas
SuaraLampung.id - Reformasi Polri kerap digaungkan, namun selalu terbentur di titik yang sama yaitu politisasi. Pernyataan mengejutkan datang dari mantan Kabareskrim Komjen (Purn) Susno Duadji.
Dia dengan lugas menyebut akar masalahnya berada pada proses penunjukan Kapolri. Menurutnya, selama mekanisme persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih berlaku, selama itu pula Polri akan terus tersandera kepentingan politik, jauh dari idealnya sebagai institusi penegak hukum yang netral dan profesional.
Susno Duadji tak basa-basi. Ia menyoroti proses yang saat ini berjalan, di mana persetujuan DPR menjadi "restu" mutlak bagi calon Kapolri.
"Ini terlalu berlebihan. Kembalikan saja pengangkatan Kapolri itu adalah wewenang prerogatif Presiden, seperti Presiden mengangkat menteri. Tidak perlu dengan persetujuan DPR," ujarnya dikutip dari Youtube Susno Duadji.
Baca Juga:Jika Suyudi Ario Seto Jadi Kapolri, Ini Mengulang Sejarah di Era Presiden SBY
Lobi-lobi Terselubung dan "Tim Sukses" di Tubuh Polri
Mengapa ia berani mengatakan demikian? Susno membongkar apa yang menjadi rahasia umum di lingkaran elite Bhayangkara.
Begitu isu pergantian Kapolri mencuat, perwira-perwira tinggi bintang tiga yang disebut-sebut sebagai kandidat, langsung sibuk membentuk "tim sukses" masing-masing. Mereka, kata Susno, tidak segan-segan "mendekati partai ini, mendekati partai itu."
Ini bukan sekadar lobi-lobi biasa. Ini adalah pertukaran kepentingan yang berbahaya. Seorang calon Kapolri yang didukung oleh partai-partai tertentu akan memiliki "utang budi" politik.
"Setelah dia terpilih nanti diangkat oleh Presiden, itu nantinya tidak terlepas dari 'kamu bisa jadi karena partai saya mendukung, kamu dukung ini'," ungkap Susno.
Baca Juga:Kapolri Gaspol! 20 SPPG Dibangun di Lampung, Dukung Makan Bergizi Gratis Prabowo
Konsekuensinya fatal yaitu netralitas Polri terancam. Ketika Kapolri merasa berutang budi kepada partai politik atau oknum di dalamnya, integritas institusi menjadi taruhannya.
Susno bahkan menyebutkan praktik-praktik kotor yang bisa terjadi. "Ya, saya titip agar si A jadiin Kapolda, si B jadiin Kapolrestabes, kemudian mungkin titip perkara dan sebagainya," ujarnya
Bayangkan, jika jabatan strategis seperti Kapolda atau Kapolrestabes ditentukan oleh "titipan" politik, bukan oleh meritokrasi dan profesionalisme.
Lebih mengerikan lagi, jika intervensi politik sampai pada "titip perkara", yang berarti hukum bisa dipermainkan demi kepentingan segelintir elite. Ini adalah pukulan telak bagi keadilan dan kepercayaan publik terhadap Polri.
Susno Duadji menyarankan agar tutup lubang politisasi ini. "Jadi kalau mau direformasi, maka kembalikan pengangkatan Kapolri itu bukan dengan persetujuan, tidak perlu dengan persetujuan DPR. Langsung menjadi hak prerogatif Presiden," ucap dia.