2 Hakim MK Beda Pendapat terkait Gugatan Presidential Treshold 20 Persen

putusan MK terkait gugatan presidential treshold 20 persen yang diajukan PKS

Wakos Reza Gautama
Kamis, 29 September 2022 | 16:17 WIB
2 Hakim MK Beda Pendapat terkait Gugatan Presidential Treshold 20 Persen
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. MK menolak gugatan PKS tentang presidential treshold 20 persen. [suara.com/Kurniawan Mas'ud]

SuaraLampung.id - Hakim panel Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda pendapat dalam memutus gugatan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.

Walau ada perbedaan, putusan MK terkait gugatan presidential treshold 20 persen yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah menolak gugatan.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan Perkara Nomor 73/PUU-XX/2022 di Jakarta, Kamis (29/9/2022).

Dalam perkara tersebut, dua orang hakim MK, yakni Suhartoyo dan Saldi Isra memiliki alasan berbeda (concurring opinion).

Baca Juga:Kang Dedi Mulyadi Digugat Cerai, Kemenag Ungkap 400 Ribu Pasangan Cerai dari 2 Juta Pernikahan per Tahun

Suhartoyo berpendapat tetap pada pendiriannya sebagaimana putusan-putusan sebelumnya, bahwa berkenaan dengan ambang batas pencalonan presiden tidak tepat diberlakukan adanya persentase.

Sebelumnya, dalam pokok permohonannya, PKS meminta angka ambang batas pencalonan presiden diturunkan dari 20 persen menjadi tujuh hingga sembilan persen.

Pengujian Undang-Undang Pemilu tersebut diajukan oleh PKS yang diwakili Ketua Umum Ahmad Syaikhu dan Sekretaris Jenderal Aboe Bakar Alhabsyi sebagai pemohon I dan Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Aljufri sebagai pemohon II.

Menanggapi permohonan itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan MK tetap pada pendiriannya terhadap ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik.

Pendirian MK, lanjut dia, adalah menilai bahwa hal tersebut merupakan kebijakan politik yang terbuka.

Baca Juga:Gugatan Deolipa Disebut Mengganggu, Pengacara Pilih Fokus Hadapi Sidang Kasus Brigadir J: Target Bharada E Bebas

"Menurut MK, hal tersebut bukanlah menjadi ranah wewenang MK untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas. Hal tersebut juga ditegaskan oleh para pemohon dalam permohonannya, vide permohonan halaman 26 merupakan kebijakan terbuka sehingga menjadi kewenangan para pembentuk undang-undang, yakni DPR dengan presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut," jelas Enny. (ANTARA)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini