SuaraLampung.id - Habitat Harimau Sumatera di hutan Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung Timur, menipis seiring maraknya perburuan liar di hutan kawasan.
Data menujukkan harimau Sumatera di TNWK kini hanya tinggal 4 ekor dari 38 ekor pada tahun 1998. Fakta ini tentu cukup memprihatinkan.
Jika tidak disikapi secara serius bukan tidak mungkin Harimau Sumatera hanya menjadi bahan dongeng seperti dinosaurus.
Pria paruh baya tampak asyik mengisap rokoknya di teras rumah berlantai keramik biru, Jumat (8/6/2022) sore ketika jurnalis Suara.com menyambangi kediamannya di salah satu desa di Lampung Timur.
Baca Juga:Penampakan Harimau Resahkan Warga Bengkalis, BBKSDA: Tolong Jangan Pasang Jerat
Ditemani segelas kopi, pria inisial KM ini berbincang santai dengan temannya yang mengenakan kaos putih dan celana jeans.
"Mas santai sebentar ya, ini lo ada kawan lagi belajar ngenam seling," kata KM kepada jurnalis Suara.com.
Dengan cekatan, KM memperagakan cara merakit seling. Tidak butuh waktu lama bagi KM memperagakan cara merakit seling.
"Ini saya contohkan untuk binatang yang tidak begitu bertenaga, seperti Napu, Rusa dan Menjangan, maka saya rajut dua seling," kata KM kepada rekannya.
Seling adalah bahan yang biasa digunakan para pemburu liar di area TNWK untuk menjerat hewan-hewan di dalamnya termasuk harimau.
Baca Juga:Dua Ekor Lembu di Karo Diduga Diterkam Harimau, 1 di Antaranya Mati di Tempat
KM adalah mantan pemburu liar di TNWK. Ia aktif menjadi pemburu liar di TNWK sejak tahun 2001. Di tahun 2021 setelah 20 tahun berkecimpung di dunia perburuan, KM memutuskan berhenti.
Pria bertubuh tambun ini sudah tidak lagi melakoni pekerjaan terlarang itu karena sudah tua dan dilarang keluarganya.
Kepada Suara.com, KM cerita banyak mengenai profesi lama yang sudah ditinggalkannnya itu mulai dari modus hingga penjualan hewan hasil buruan yang dilindungi.
Menjerat Macan Kumbang
Matahari belum menampakan sinarnya, KM dan dua rekannya GT dan KT sibuk menyiapkan peralatan berburu seperti karung, golok, senapan pada suatu fajar di tahun 2010.
Mengendarai dua sepeda motor, KM berboncengan dengan GT. Sementara KT mengemudikan sendiri sepeda motornya.
Dari rumah KM menuju pinggir hutan hanya memakan waktu tidak lebih dari 10 menit. Sampai di lokasi, mereka menyembunyikan sepeda motornya di semak semak.
Mereka bertiga lalu berjalan menyusuri rimbunan hutan TNWK melalui sela sela pepohonan. Tujuaan KM cs untuk melihat hasil jebakan jaring yang sudah dipasang sehari sebelumnya.
Dalam jarak yang tidak lebih 100 meter dari lokasi yang dituju, tiba tiba KM bersuara lirih. "Hoiii suarane macan iku seng kejerat (Hoii suaranya macan itu yang terjerat)."
Langkah kaki ketiga pemburu berhenti. Ketiganya panik. Mereka berharap suara raungan macan itu berasal dari macan yang terjerat.
"Sudah berhenti saja kita di sini, pantau dulu, takutnya macan tidak terjerat, mati kita dimakannya," ucap KM kepada dua rekannya.
Setelah berhenti sekitar 25 menit, KM dan dua temannya melanjutkan perjalanan menuju lokasi jebakan jerat yang dipasang.
"Kalau 25 menit masih meraung jelas berarti dalam kondisi terjebak, tapi kalau meraungnya perlahan hilang berarti macan itu dalam kondisi leluasa," cerita KM.
Sambil berjalan mengendap, mata ketiga pemburu liar terbelalak melihat seekor harimau meronta melawan sakit berupaya lepas dari jeratan seling.
"Waduh sayang macan kumbang, bukan gembong (Macan loreng), kalau gembong banyak duitnya," keluh KM dengan rekannya.
Tampak di hadapan mereka macan berwarna hitam legam dengan ekor panjang. Kedua matanya menatap tajam seolah hendak menerkam ketiga pemburu yang mendekat.
Namun macan kumbang itu tidak ada daya. Salah satu kakinya terjerat seutas seling yang kokoh. Darah menetes dari kaki belakang sebelah kanan, namun raungan macan kumbang itu terus menggema.
Dengan cepat ketiga pemburu mengeksekusi macan kumbang yang malang. KM dan rekannya hanya membawa dua taring macan kumbang.
"Waktu itu yang kami bawa cuma taringnya. Satu taring dihargai Rp2,5 juta. Tapi kalau yang tertangkap macan loreng bisa puluhan juta satu taring," cerita KM.
Dua Cara Memburu di TNWK
Selama berburu di hutan TNWK, KM mengaku paling sering dapat babi, rusa dan menjangan. KM mengaku tak pernah mendapat macan loreng atau harimau sumatera selama 20 tahun berburu di TNWK.
Ada dua cara yang biasa dipakai pemburu yaitu menembak dan memasang jerat.
Untuk pemasangan jerat bisa dilakukan kapanpun. Pemasangan jerat dilakukan di lokasi yang sering dilalui satwa seperti babi, rusa dan menjangan. Jejak perlintasan dan kotoran satwa ciri paling mudah untuk menentukan pemasangan jerat.
"Bisa saya bedakan, ini sering dilintasi babi, rusa dan menjangan, yaitu dari bekas tapak kaki dan kotorannya," kata KM.
KM mengaku, bisa memasang jerat sampai 100 titik. Hasil tangkapan yang paling banyak hingga 23 ekor rusa. Harga dagingnya jika dijual langsung ke perorangan mencapai Rp65 ribu per kilogram,. Jika dijual ke pengepul hanya Rp50 ribu per kilogram.
Sementara kalau untuk babi, KM dan rekannya menjual seharga Rp300 ribu per ekor untuk ukuran dewasa. Biasanya babi pesanan dari orang orang tertentu.
"Menjelang Idul Fitri, panen kami. Satu orangnya bisa dapat Rp5 juta dalam kurun waktu 15 hari sebelum Idul Fitri," kata KM.
KM yang memiliki pengalaman berburu dalam hutan TNWK sejak 2001 itu mengakui, jerat merupakan alat pembunuh segala jenis satwa dan cara ini yang paling digunakan pelaku.
"Kalau jerat, bisa ngena rusa, menjangan, harimau, babi, beruang, dan sejenisnya. Kalau gajah belalainya yang bisa terjerat kalau kaki tidak bisa karena besar begitu juga badak kakinya besar," terang KM.
Populasi Harimau Sumatera Di TNWK Tinggal 4 Ekor
Koordinator Spesies Harimau Balai TNWK Dedi Iskandar mengakui populasi harimau sumatera di hutan TNWK hanya tinggal 4 ekor.
Data ini didapat dari pemantauan keberadaan harimau menggunakan kamera trap yang dipasang di setiap sudut hutan yang biasa untuk singgah harimau.
"Data tahun 1998 populasi harimau di hutan TNWK masih mencapai 38 ekor. Setelah dilakukan penelitian kembali pada 2022 ini keberadaan harimau hanya tinggal 4 ekor," ujar Dedi.
Dedi Iskandar mengatakan, penyebab dari punahnya harimau yaitu masih maraknya kegiatan ilegal dalam hutan TNWK.
Meskipun selama dirinya bertugas di Balai TNWK belum menemukan bangkai harimau, namun maraknya perburuan liar dalam hutan salah satu faktor yang bisa membuat punahnya harimau.
"Perburuan masih banyak, tidak menutup kemungkinan ada harimau yang tertangkap pemburu, dan selain itu perburuan satwa lain seperti menjangan, rusa dan babi itu juga berdampak pada harimau karena tiga satwa itu makanan utama harimau," jelas Dedi Iskandar.
Jika tidak ada perburuan, Dedi meyakini harimau akan berkembang biak di dalam hutan.
Menurutnya lokasi yang paling rawan perburuan adalah tempat habitat utama harimau sumatera, seperti di Seksi 1 Way Kanan.
Bukti maraknya perilaku perburuan dalam hutan TNWK terlihat dari banyaknya barang bukti yang diamankan petugas seperti sepeda, alat jerat, perahu sampan, pompa sepeda, tulang gajah, alat pancing, alat setrum dan stik setrum accu.
Koordinator Polisi Hutan (Polhut) Balai TNWK Abdu, mengatakan data terakhir tahun 2018 - 2019 terkait barang bukti milik pemburu tercatat. 35 unit sepeda, 741 jerat satwa, 3 buah perahu sampan, 8 unit alat setrum ikan dan tulang belulang gajah liar.
"Dari beberapa barang bukti yang kami amankan itu bentuk masih adanya perilaku ilegal dalam hutan, baik perburuan ataupun ilegal fishing," terang Abdu.
Masih maraknya perburuan liar di TNWK menurut Abdu karena hutan TNWK yang mudah dimasuki orang. Seperti diketahui letak hutan TNWK berbatasan langsung dengan 38 desa penyangga sehingga masyarakat dengan mudahnya masuk ke TNWK.
Kontributor : Agus Susanto