SuaraLampung.id - Kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke negara yang tengah perang berkecamuk Ukraina mendapat sorotan dari publik.
Isu keamanan Presiden Jokowi ke Ukraina menjadi pembahasan para pengamat karena situasi Ukraina yang sedang menghadapi invasi Rusia.
Beruntungnya kunjungan Jokowi ke Ukraina berjalan lancar tanpa ada insiden apapun yang dikhawatirkan sejumlah pihak.
Sebenarnya Jokowi bukan Presiden RI pertama yang berkunjung ke negara yang sedang berperang. Sebelumnya Presiden Suharto pernah melakukan hal serupa.
Baca Juga:Jokowi ke Moskow Naik Pesawat untuk Bertemu Presiden Putin
Di tahun 1995, Suharto berkunjung ke Bosnia yang tengah dilanda perang dengan Serbia.
Pengamat Militer Connie Rahakundini menilai ada perbedaan mendasar dari kunjungan Jokowi dan Suharto ke negara perang.
Connie mengaku lebih khawatir terhadap keamanan Presiden Jokowi di Ukraina karena itu ia sempat menyarankan ke Menteri Luar Negeri Retno Marsudi agar Jokowi tidak berkunjung ke Kiev.
"Kenapa saya khawatir? Ukraina ini menjadi mandala perang yang aneh. Bukan antara dua negara antara Rusia dan Ukraina tapi antara negara global melawan Rusia. Ada juga aktor-aktor lain yang bisa bermain Neo Nazi atau apapun," kata dia dikutip dari YouTube Kompas TV.
Walau Presiden Jokowi sudah dikawal 39 personel Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang berkualifikasi tinggi, tetap saja mereka hanya bisa menghalau kekuatan senjata ringan
Baca Juga:Viral Lagi Sosok Laki-laki Mirip Presiden Jokowi, Kali Ini Kegep Asyik Makan Mi Ayam
"Yang saya khawatirkan artileri berat, bisa jarak jauh, presisi kemudian yang paling menyeramkan perang ini, sederhana drone yang bisa dibeli di mal tapi dibekali bom. Hal itu yang mesti dihitung," kata Connie.
Yang sedikit membuat Connie lega karena ia melihat ada pendamping Presiden Jokowi yang bukan dari Paspampres memegang senjata laras panjang.
Mereka adalah pasukan dari negara Polandia yang ikut menjaga pejabatnya yang ikut serta dengan rombongan Presiden Jokowi.
Lalu apa yang membuat kunjungan Jokowi dan Suharto berbeda?
"Beda. Kalau Pak Harto lebih sederhana dia mengamankan perang etnis. Kemudian NATO posisinya jelas jadi clear perangnya apa. Ini ga, kita sekarang ga jelas perangnya apa. NATO setengah kaki, itu menurut saya membuat beberapa kemungkinan dalam security aspek berbahaya," jelas Connie.
Ia khawatir ketika Presiden Jokowi berada di Ukraina, terjadi gempuran dari NATO.
Menurut Connie, ketika Presiden Suharto berkunjung ke Bosnia, posisi NATO sudah jelas ikut intervensi penuh dalam perang tersebut.
"Kemudian PBB sikapnya jelas kepada Pak Harto tanda tangan kontrak mati jadi PBB tidak bisa menjamin kalau Pak Harto terjadi apa-apa. Tapi jelas aktor-aktornya itu terukur. Kemudian lawannya yang dikhawatirkan sniper," paparnya.
"Tapi kalau sekarang ini (kunjungan Jokowi ke Ukraina) pertama posisi NATO dia artikel empat setengah. Kedua yang dilawan artileri berat kemudian semua serangan udara dan lain-lain yang bersifat dari udara. Itu bisa sengaja dan tidak disengaja. Karena dalam keadaan seperti ini chaos bisa terjadi. Di Ukraina terlalu banyak aktor," urai Connie.