SuaraLampung.id - Wahana Lingkungan Hidup (Walhu) Lampung bersama kelompok pemuda pemerhati masalah lingkungan hidup menggelar aksi unjuk rasa, Sabtu (6/11/2021) sebagai respons atas situasi ekologis di Bandar Lampung akhir-akhir ini.
Walhi Lampung memandang situasi ekologis di Bandar Lampung cukup parah. Ini terlihat dari pengelolaan sampah yang belum maksimal dan banyaknya alih fungsi bukit.
"Tidak tegasnya langkah yang ditempuh akan berdampak besar pada jaminan atas kehidupan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan pada generasi mendatang. Hal tersebut tercermin pula pada situasi di Kota Bandar Lampung hari ini," kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Lampung, Irfan Tri Musri, dalam siaran pers yang diterima Lampungpro.co--jaringan Suara.com, Sabtu (6/11/2021).
Dia mengatakan belum ada langkah serius dan komitmen oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk mengatasi kerusakan lingkungan hidup.
Baca Juga:Kalbar Kerap Dilanda Banjir, WALHI Minta Pemkab Selesaikan Krisis Lingkungan di Wilayahnya
"Kita dapat lihat bersama bagaimana penangangan sampah yang ada di Bandar Lampung, skema open dumping masih dipertahankan, walau pun TPA Bakung overcapacity," kata Irfan.
Hal ini juga tampak dari semangat yang tidak dilandasi konsistensi mengelola sampah di setiap kecamatan melalui bank sampah.
Padahal, kata dia, langkah ini sebenarnya cukup solutif pada skala kecamatan. Namun sejumlah bangunan dan peralatan tidak beroperasi di tiga bank sampah Kota Bandar Lampung.
Kemudian, alih fungsi bukit menjadi pertambangan dan lokasi wisata yang akhirnya menimbulkan bencana ekologis seperti longsor atau banjir.
Selain masalah di Bandar Lampung, Irfan juga mengingatkan kepada semua warga Bandar Lampung dapat mengawal proses revisi Perda RTRW Kota Bandar Lampung.
Baca Juga:Gratis, Yuk Kunjungi Wisata Sumur Putri di Bandar Lampung
"Jangan sampai revisi Perda tersebut bukan menjadikan Bandar Lampung sebagai kota yang berkelanjutan. Namun justru semakin memperparah krisis ekologis dan berdampak munculnya bencana ekologis di tengah situasi krisis iklim di Bandar Lampung," kata Irfan.
Potret lingkungan hidup memiliki warna kontras dengan penghargaan Adipura yang pernah diraih. Pada 2018 Kota Bandar Lampung ditetapkan dengan predikat kota terkotor.
Hal ini tentu sangat memalukan, dan harus menjadi evaluasi besar bagi Pemerintah Kota Bandar Lampung agar segera meninjau kembali kebijakan dan melaksanakan dengan serius, karena penanganan sampah yang tidak benar akan menimbulkan bencana ekologis serta memberikan kontribusi besar pada krisis iklim.
"Aksi ini merupakan bentuk perlawanan atas ketidaktegasan para pemangku kebijakan dan menuntut keadilan iklim untuk antar generasi. Kita menyadari bahwa generasi yang akan datang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan. Kita tidak lagi punya kesempatan untuk menentukan langkah yang dapat dilakukan secara politik atau tidak. Tetapi siapa pun yang hidup hari ini punya tanggung jawab untuk generasi yang akan datang," kata dia.