SuaraLampung.id - Pada tahun 1905 Pemerintah Hindia Belanda mulai melaksanakan kebijakan Politik Etis di Lampung. Kebijakan politik etis yang paling nampak jejaknya di Lampung adalah kebijakan perpindahan penduduk dan pembangunan irigasi.
Pembangunan bendungan sendiri adalah wujud pelaksanaan dari politik etis pemerintah kolonial Belanda. Meskipun dalam prakteknya politik etis tetap menguntungkan pihak penjajah akan tetapi kepedulian pemerintah Hindia Belanda kepada kaum inlander mengalami peningkatan.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu menganggap perlu adanya kepedulian kepada bangsa pribumi agar taraf hidup mereka meningkat dan produktivitas mereka meningkat agar program-program pemerintah berjalan dengan baik.
Pelaksanaan politik etis bidang irigasi di Kolonisasi Sukadana merupakan salah satu bentuk kepedulian pemerintah Hindia belanda agar para kolonis dapat memperbaiki ekonominya melalui hasil panen pertanian yang melimpah.
Baca Juga:Ulasan Buku Besar Peminum Kopi, Original Story Andrea Hirata
Salah satu caranya adalah dengan membangun Bendung Argoguruh. Bendung Argoguruh dibangun tahun 1935. Bendung ini berupa bendung (stuwdam) yang membendung sungai Way Sekampung yang berfungsi untuk menaikan permukaan air sehingga air mengalir ke saluran irigasi dan petak sawah di Kolonisasi Sukadana, Lampung.
Bendung Argoguruh dirancang Ir. Wehlburg dari Departemen Pertanian (Soerabaijasch_handelsblad, 1937a), dan diperkirakan untuk pembangunan memerlukan biaya sebesar 900.000 NLG untuk pembangunan 30.000 konstruksi, dengan rincian biaya 30 NLG per konstruksi (Soerabaijasch_handelsblad, 1938b).
Pada tanggal 20 Agustus 1936 telah mengalir air ke saluran irigasi pertama kalinya ke wilayah kolonisasi Sukadana.
Buku "Bendung Argoguruh : Implementasi Politik Etis Bidang Irigasi di Kolonisasi Sukadana Tahun 1935-1942" karya Febri Angga Saputra dan Elis Setiawati menceritakan bahwa pembangunan irigasi di Kolonisasi Sukadana merupakan kerja keras dan kesediaan masyarakat kolonis untuk bergotong-royong dalam membangunnya.
Kehadiran irigasi menjadikan hasil panen padi yang melimpah, pertambahan penduduk yang pesat, hingga menjadikan Metro sebagai ibukota Kolonisasi Sukadana
Baca Juga:Sejarah Bendung Argoguruh di Pesawaran, Peninggalan Zaman Belanda
Meski demikian di balik keberhasilan pembangunan irigasi dan kemajuan yang dicapai kehidupan para kolonis tidak seimbang.
Tidak sedikit penduduk kolonis yang masih miskin. Taraf hidup mereka tidak lebih tinggi dari penghidupannya di pulau Jawa. Kemajuan dan kemakmuran yang nampak di Sukadana itu ada dihasilkan oleh kolonis, tetapi tidak untuk mereka.
Sebagai sebuah bangunan bersejarah peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang keberadaannya masih eksis, Bendung Argoguruh 1935 memiliki sejumlah potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran sejarah (history learning resources), khususnya sejarah lokal (local history).
Keberadaan Bendung Argoguruh 1935 memiliki nilai sejarah yang sangat penting terutama bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Masyarakat yang mendiami wilayah eks-kolonisasi Sukadana yang kini telah menjadi tiga wilayah pemerintahan (Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Timur, dan Kota Metro) memiliki keterikatan secara historis yang kuat.
Judul Buku : Bendung Argoguruh : Implementasi Politik Etis Bidang Irigasi di Kolonisasi Sukadana Tahun 1935-1942
Penulis : Febri Angga Saputra dan Elis Setiawati
Penerbit : Aura dan Pensil Bersejarah
Ukuran : 14x21
Tebal : xvi+82 halaman
Penulis: Shofiyurahman (Ketua HIMAS UM Metro)