SuaraLampung.id - Bendung Argoguruh yang berada di Tegineneng, Pesawaran, adalah satu peninggalan bersejarah di zaman penjajahan Belanda.
Bendung Argoguruh di Tegineneng, Pesawaran, dibangun tahun 1935. Pembangunan bendungan ini merupakan hasil dari pelaksanaan kebijakan politik etis Belanda di bidang irigasi.
Bendung Argoguruh 1935 adalah bangunan berupa bendung (stuwdam) yang membendung sungai Way Sekampung . Fungsinya untuk menaikan permukaan air sehingga air mengalir ke saluran irigasi dan petak sawah di Kolonisasi Sukadana, Lampung.
Sungai Way Sekampung sendiri memiliki air seluas 2.150 km2 dan aliran maksimum 500 m3/detik, aliran minimum 8 m3/detik.
Baca Juga:Kadin Buka Tambak Garam Industri di Pulau Legundi Pesawaran
Bangunan utama bendung memiliki panjang 70 m dan tinggi 4 m, dan selokan drainase lebar 6 m, dapat ditutup dengan gerbang roller besi, dilengkapi dengan katup bendung di atasnya, ketinggian lift kira-kira 7 m.
Di sebelah kiri terdapat pintu masuk air dengan lebar 3x2 m. Saluran air induk (primer) yang dibangun pada tahap awal sepanjang 9 km, dan saluran air sekunder sepanjang 75 km.
Pada tanggal 20 Agustus 1936 telah mengalir air ke saluran irigasi pertama kalinya ke wilayah kolonisasi Sukadana. Pengairan tahap pertama ini untuk mengairi daerah seluas 10.000 bau, sedangkan 20.000 bau sisanya akan menjadi pembangunan tahap selanjutnya.
Hasil penyelidikan selanjutnya menunjukkan bahwa jumlah debit air yang besar, memungkinkan sistem irigasi yang dibangun ini mengairi wilayah yang lebih luas lagi hingga 70.000 bau.
Sampai dengan akhir pemerintahan Hindia Belanda tahun 1942, perluasan jaringan irigasi masih dilakukan di seluruh wilayah kolonisasi Sukadana.
Baca Juga:Tertangkap Nyabu, Oknum Jaksa di Lampung Cuma Divonis 7 Bulan Penjara
Bangunan Bendung Argoguruh 1935 dirancang oleh Ir. Wehlburg yang berasal dari Departemen Pertanian. Nama Argoguruh sendiri disebut berasal dari kata “argo” memiliki arti bukit, gunung, atau diasosiasikan tempat yang lebih tinggi.
Kata “guru atau juru” ditujukan kepada seseorang yang dianggap telah menemukan lokasi strategis dimana lokasi bendungan ini dibangun.
Pembangunannya diperkirakan memerlukan biaya sebesar 900.000 NLG untuk pembangunan 30.000 konstruksi, dengan rincian biaya 30 NLG per konstruksi.
Pada tahun 1936 bendung Argoguruh selesai dalam pembangunannya sekaligus pembukaan pintu air untuk pertama kalinya. Peresemian bendung untuk keperluan irigasi dilakukan oleh Gubernur Jenderal dan Ny. Tjarda Van Starkenborgh
Pekerjaan pembuatan dam/bendung tersebut melibatkan para kolonis-kolonis. Setiap kolonis yang akan tinggal di kolonisasi Sukadana diwajibkan membantu pekerjaan membangunan bendung dan jaringan saluran irigasi ini.
Kolonis diwajibkan bekerja beberapa minggu dalam satu tahun untuk pembangunan irigasi.
Pada masa kolonisasi pengelolaan bidang irigasi dikelolah oleh Department Van Verkeer en Waterstaat dalam proses pembangunannya didatangkan tenaga ahli dari Jawa Barat dan Jawa tegah, serta melibatkan kolonis setempat.
Dalam waktu satu minggu (7 hari), dua hari digunakan sebagai waktu kerja wajib para kolonis untuk membangun irigasi.
Konversi lahan kering menjadi konstruksi sawah tidaklah mudah. Para kolonis sendiri harus mengurus pembangunan sawah, dengan parit dan tanggul.
Untuk tujuan ini, ladang harus dibersihkan lebih lanjut dan sisa-sisa batang dan akar pohon dibuang, setidaknya sejauh mungkin. Hal ini tentunya bukan pekerjaan mudah dan memakan waktu yang cukup lama.
Pembangunan irigasi perlahan mempengaruhi kondisi sosial masyarakat kolonisi Sukadana. Lewat saluran irigasi kualitas hidup para kolonis semakin membaik.
Sebelumnya para kolonis menanam padi gogo (padi ladang) kemudian setelah saluran irigasi telah dibuka, lahan pertanian berupa ladang segera diubah menjadi lahan pertanian berupa sawah yang menjadikan padi.
Selain dapat memenuhi kebutuhan air untuk lahan pertanian, irigasi juga dapat dimanfatkan para kolonis yang tinggal di dekat saluran irigasi untuk menunjang aktifitas kehidupan sehari-hari seperti mencuci dan mandi.
Jejak bangunan irigasi di wilayah eks-kolonisasi Sukadana masih bisa dijumpai hingga saat ini serta memiliki nilai sejarah yang sangat penting.
Penulis: Febri Angga Saputra (Mahasiswa Pendidikan Sejarah, UM Metro, Pegiat Trimurjo Heritage)
NB
Artikel ini terbit atas kerjasama SuaraLampung dan Sahabat Dokterswoning