SuaraLampung.id - Di Desa Gantimulyo, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur, berdiri tugu yang dinamakan Tugu Mardirahayu.
Tugu Mardirahayu dibangun untuk mengenang peristiwa pertempuran saat Agresi Militer Belanda II di Lampung.
Tugu Mardirahayu menjadi saksi perjuangan rakyat Lampung dalam mempertahankan kemerdekaan.
Saat terjadi Agresi Militer Belanda II pada 19 desember 1948, Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke Indonesia tak terkecuali di Lampung. Lampung saat itu masih bagian dari Karesidenan Provinsi Sumatera.
Baca Juga:HUT RI ke-76, 13 Rumah Terbakar di Jakarta Timur
Pada 1 Oktober 1949 dini hari Pos Angkatan Laut Indonesia (ALRI) di Kalianda mendorong mundur sebuah kapal perang Belanda menuju Telukbetung.
Pagi harinya, kapal perang Belanda yang hendak berlabuh di Panjang diserang dan ditembaki oleh ALRI.
Ini adalah pertama kalinya ALRI melakukan pertempuran di laut dengan senjata yang tidak proporsional.
Tentara Belanda yang lebih berpengalaman akhirnya bisa mendarat di Gunung Kunyit dan Telukbetung.
Setelah masuk ke kota Tanjung Karang – Teluk Betung, Belanda melanjutkan perjalanan menuju Tegineneng serta menuju arah Barat sampai Kemiling.
Baca Juga:Link Live Streaming Upacara 17 Agustus di Istana Merdeka
Belanda masuk ke Kewedanaan Metro pada 3 Januari 1949. Sejak surat Perintah Perang muncul, maka untuk mengamankan daerah ini dari serangan Agresi Militer II Belanda, didirikan pos pertahanan.
Pada masa Revolusi Fisik, Lampung Tengah merupakan daerah pertahanan di bawah Komado Front Utara yang berpusat di Kotabumi.
Waktu itu beberapa kota strategis di Lampung Tengah selalu menjadi incaran Belanda karena letaknya yang strategis baik dari segi politik, ekonomi maupun militer.
Khusus di Kewedanaan Metro dan Kabupaten Lampung Tengah rakyat tentunya ingin mempertahankan kemerdekaan dan tak ingin Metro jatuh ke dalam penguasaan Tentara Belanda.
Akan tetapi hal tersebut gagal. Kewedanaan Metro jatuh ke tangan Belanda akibatnya komando-komando militer sebagai basis perjuangan dibuat di luar Kewedanaan Metro salah satunya ada di Gantimulyo.
Dipilihnya Gantimulyo sebagai basis perjuangan alasanya karena dinilai sebagai sebuah tempat yang strategis karena masih berdekatan dengan Kewedanaan Metro.
Selain itu wilayahnya masih berupa hutan-hutan maka memudahkan para pejuang untuk berlindung, selain itu masyarakat di wilayah atau sekitar wilayah Gantimulyo juga mau memasok kebutuhan para pejuang.
Serangan Belanda di Gantimulyo dimulai pukul jam 09.00 pagi. Saat itu pasukan sedang berada di rumah kediaman Noyo Darmo yang pada waktu itu dijadikan sebagai markas sementara.
Pasukan Belanda datang dari arah Metro dan terjadilah pertempuran yang sangat mengesankan antara pejuang Indonesia dengan Pasukan Belanda.
Perlawanan para pejuang yang dipimpin oleh Cokro mengakibatkan banyak pejuang yang gugur di antaranya Mardi, Sujud, Kastojo, Atmo dan Tamin.
Para pejuang ini dimakamkan secara darurat dia area yang sekarang dibangun Tugu Mardirahayu.
Sebagai penghormatan kepada pejuang yang telah gugur dan sebagai upaya untuk terus mengenang pertempuran tersebut maka atas inisiatif Cokro maka dibangunlah Tugu Mardirahayu.
Cokro menyampaikan inisiatif tersebut kepada perangkat desa, setelah medapat respon akhirnya digelarlah beberapa kali rapat dan akhirnya dimulailah pembangunan Tugu Mardirahayu tersebut pada 29 Agustus 1996.
Proses pembangunan tugu tersebut melibatkan beberapa pihak antara Cokro, Komandan II Sriwijaya (Kolonel Bibit Waluyo), Koramil kecamatan Pekalongan, Noyo Darmo serta swadaya masyarakat Desa Gantimulyo.
Biaya pada pembangunan tugu tersebut kurang lebih sebesar Rp. 35.000.000 diperoleh dari sumbangan masyarakat dan donatur.
Menurut keterangan Sumardi dalam pembangunan Monumen Tugu Mardirahayu banyak sekali pihak terkait yang ikut berjasa dalam berjalanya proses pembangunan baik dari pihak resmi yakni komandan II Sriwiaya Kodim maupun Koramil dan juga pihak yang tidak resmi seperti masyarakat yang ikut serta dalam membantu pembangunan.
Cokro sebagai koordinator bersama keluarganya ikut membantu dalam pembuatan tugu tersebut. Selain itu juga Noyo Darmo yang mewakafkan sebagian pekarangan rumahnya untuk tempat pembangunan Monumen Mardi Rahayu.
Antusiasme terlihat dari warga sekitar bergotong royong membantu tenaga sementara pihak aparat Desa Gantimulyo juga mendukung baik secara perizinan maupun surat menyurat yang dibutuhkan dalam pembangunan.
Salah seorang tokoh setempat yakni Muji menjelaskan keterkaitan masyarakat dengan Monumen Mardirahayu bisa di lihat dari sejarah Monumen Mardirahayu tersebut.
Yakni pada tahun 1949 telah terjadi pertempuran di daerah Lampung pada umumnya dan daerah 37 Gantimulyo pada khususnya yakni pertempuran mempertahankan kemerdekaan dari pihak penjajah Belanda.
Bentuk bangunan Tugu Mardi Rahayu sendiri pada bagian bawahnya yaitu yang menopang patung pahlawan berbentuk persegi empat yang tingginya tiga meter.
Kemudian di bagian atasnya terdapat dua patung pahlawan yang lengkap dengan senjata perangnya yang saling bertolak belakang.
Monumen Mardi Rahayu juga dikelilingi oleh pagar besi yang berujung runcing dengan tinggi satu meter dengan luas wilayah 10 M2 yang dijadikan tempat berdirinya bangunan monumen.
Di bagian depan tugu yang menopang patung terdapat tulisan surat pemerintah yang dikirimkan kepada Cokro dan di bawahnya terdapat tulisan tahun pembuatan dan tanda tangan peresmian Monumen Mardi Rahayu.
Penulis : Utara Setia Nugraha (Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Metro)
NB
Artikel ini terbit atas kerjasama Suaralampung.id dan Sahabat Dokterswoning