SuaraLampung.id - Pandemi Covid-19 berdampak terhadap kesehatan mental anak-anak muda di seluruh dunia. Data terbaru menyebutkan sebanyak 80 persen anak muda di dunia mengalami penurunan kondisi kesehatan mental selama pandemi Covid.-19.
Data ini didapat dari laporan Risiko Global 2021 (Global Risks Report 2021) yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) bersama Zurich Insurance Group (Zurich).
Laporan yang menyoroti risiko dampak pandemi Covid-19 pada kesehatan mental generasi muda itu juga menemukan, kekecewaan yang dirasakan anak muda (youth disillusionment) dan memburuknya kesehatan mental (mental health deterioration) sebagai risiko global yang paling terabaikan selama pandemi.
Dalam konteks Indonesia, data yang dihimpun oleh layanan telemedicine Halodoc menunjukkan, konsultasi terkait kesehatan mental di platform tersebut meningkat hingga 300 persen selama pandemi.
Baca Juga:Studi Zurich Ungkap 80% Anak Muda Alami Penurunan Kesehatan Mental
Lonjakan drastis tersebut pun membuat layanan konsultasi kesehatan mental menjadi satu dari lima layanan konsultasi yang paling banyak digunakan pasien.
Menurut laporan, memburuknya kondisi kesehatan mental anak muda ini diakibatkan oleh prospek ekonomi dan pendidikan yang terbatas.
Dilansir dari ANTARA, melambatnya ekonomi selama masa pandemi mengakibatkan peningkatan jumlah pengangguran yang signifikan dan generasi muda yang baru memasuki dunia kerja terpukul keras oleh situasi ini.
Pelajar yang baru lulus dan mulai memasuki dunia kerja di tengah krisis ekonomi cenderung berpenghasilan lebih rendah dari rekan-rekan kerja mereka lainnya.
Bahkan, menganggur selama satu bulan pada usia 18-20 tahun diprediksi dapat menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar 2 persen secara permanen di masa mendatang.
Baca Juga:Setahun Pandemi Covid-19: Kesehatan Mental Generasi Muda Makin Memburuk
Bagi anak muda di kawasan terpencil, risiko pengangguran berpotensi bisa menjadi semakin serius dengan adanya kesenjangan digital selama pandemi.
Ketika anak muda di perkotaan lebih cepat beradaptasi dan berkembang di tengah digitalisasi, anak muda di pedesaan masih kesulitan mengimbangi minimnya akses dan infrastruktur digital.
Berdasarkan data UNICEF tahun 2020, setidaknya 30 persen pelajar di seluruh dunia kekurangan akses dan infrastruktur teknologi untuk berpartisipasi dalam pembelajaran daring.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada Agustus 2020 menyatakan, lebih dari 42.000 sekolah masih belum terakses internet. Dalam jangka panjang, disparitas digital dapat semakin memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi dan menciptakan kesenjangan yang signifikan dalam daya saing serta keterampilan sumber daya manusia.