Kisah Jenderal Dicopot dari Jabatan karena Tolak Pakai Jas Golkar

Saking kuatnya pengaruh Golkar di era Orde Baru, sampai masuk ke tubuh institusi TNI yang dulunya bernama ABRI.

Wakos Reza Gautama
Senin, 11 Januari 2021 | 19:12 WIB
Kisah Jenderal Dicopot dari Jabatan karena Tolak Pakai Jas Golkar
Letjen (Purn) Suryo Prabowo [repro Buku "Si Bengal Jadi Jenderal"]

SuaraLampung.id - Di era Orde Baru, Golkar begitu berkuasa. Di bawah arahan Presiden Soeharto, Golkar menjelma menjadi kekuatan politik yang memiliki pengaruh besar dalam sistem politik Indonesia.

Saking kuatnya Golkar di era Orde Baru, pengaruhnya masuk ke tubuh institusi TNI yang dulunya bernama ABRI.

Sampai-sampai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal R Hartono menyatakan secara terbuka bahwa setiap anggota ABRI adalah kader Golkar di tahun 1996.

Ketika itu R Hartono datang ke acara Temu Kader Golkar bersama Ketua DPP Golkar Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut Soeharto, anak sulung Presiden Soeharto.

Baca Juga:5 Jenderal Bintang 3 Berebut Kursi Kapolri, DPR Belum Terima Supres Jokowi

Acara berlangsung di Lapangan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Mengenakan baju safari abu-abu ditutup jaket kuning Golkar, R Hartono memberikan pidato di hadapan sekitar 5 ribu kader Golkar.

Hadir di acara itu Kasospol ABRI Letjen Syarwan Hamid, Asisten Teritorial KSAD Mayjen Suparman, dan Pangdam Diponegoro Mayjen Subagyo.

Dalam pidatonya R Hartono berujar bahwa setiap anggota ABRI adalah kader Golkar.

“Di balik hijau baju tentara, setiap anggota ABRI adalah kader Golkar. Jadi anggota dilarang ragu-ragu mendukung Golkar. ABRI dan Golkar sejak awal hidup tidak pernah terpisah, dan yang akan datang tidak boleh berpisah,” tegas R Hartono sambil menunjuk Danrem Solo Kolonel Slamet Supryadi yang mengenakan seragam tentara.

Baca Juga:Urai PR Kapolri Baru, KontraS Soroti Pelanggaran HAM Oleh Oknum Kepolisian

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto memberikan pidato politiknya pada pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Jakarta, Selasa (3/12). [ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja]
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto memberikan pidato politiknya pada pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Jakarta, Selasa (3/12). [ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja]

Menjelang pemilu 1997, menurut Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo di dalam buku biografinya berjudul "Si Bengal Jadi Jenderal" banyak pejabat curi start kampanye.

Tak terkecuali para perwira TNI yang berpolitik praktis.

Terjadi persaingan antar perwira Angkatan Darat dalam melakukan kampanye politik. Hal ini terasa sampai ke bawah.

Awal Juli 1996, Korem 164/Wiradharma menerima kunjungan dua jenderal bintang empat.

Saat itu Suryo Prabowo berpangkat Letnan Kolonel menjabat sebagai Kasrem 164/Wiradharma.

Dua jenderal itu tiba hampir bersamaan. Jenderal pertama tiba memberikan pengarahan.

Para perwira memberikan tepuk tangan meriah saat menyambut sang jenderal.

Ternyata jenderal tersebut tidak menunjukkan raut muka bahagia.

“Ini apa lagi? Perwira ABRI kok seperti gerombolan PKI pakai tepuk tangan segala. Sebenarnya apa sih tujuan kalian tepuk tangan?” tegur sang jenderal.

Suasana di aula Korem seketika hening. Para perwira diam memperhatikan sang jenderal memberi pengarahan.

Tak lama setelah jenderal pertama pergi, jenderal kedua datang ke tempat yang sama.

Tak mau kembali dimarahi, para perwira menyambut jenderal kedua dengan posisi duduk tanpa tepuk tangan.

Hal ini malah membuat jenderal kedua marah.

“Bagaimana ABRI mau bisa menang perang, bila perwiranya yang berada di garis depan seperti di Timtim ini sama sekali tidak kelihatan gereget dan semangatnya. Mengapa kalian menjadi melempem seperti ini?” tegas Sang jenderal.

Sontak para perwira bertepuk tangan dengan meriah. Sang jenderal pun tersenyum.

“Nah gitu dong. Kalian harus tetap semangat apalagi di daerah operasi. Jangan melempem ya,” pinta sang jenderal.

Perbedaan sikap dua jenderal ini disebabkan adanya persaingan politik para jenderal dalam mendekati kekuasaan.

Hal ini membuat para prajurit tidak nyaman karena mereka dilanda kebingungan kala harus menghadapi para jenderal yang saling bersaing ini.

Ditambah lagi adanya perintah KSAD yang meminta tentara menggunakan jaket kuning Golkar. Ini membuat Suryo Prabowo tidak terima.

Suryo Prabowo mengemukakan pendapatnya bahwa ia tidak senang dengan kebijakan KSAD Jenderal R Hartono.

Bagi Suryo Prabowo, ketika ABRI sudah berpihak pada salah satu peserta pemilu dipastikan tidak akan netral dan sangat mengganggu demokrasi di Indonesia.

Suryo Prabowo menganggap kebijakan ABRI bermain politik praktis sama saja menggerus kepercayaan rakyat terhadap ABRI.

Padahal kepercayaan rakyat adalah deposito yang dimiliki ABRI.

Apalagi saat itu ada jargon Terbaik untuk Rakyat, terbaik untuk ABRI. Jargon itu dipopulerkan Jenderal Feisal Tanjung

Dengan keputusan TNI terjun ke politik praktis kata Suryo Prabowo jargon tersebut jadi tidak reliable karena ABRI sudah berpihak kepada Golkar bukan ke rakyat.

Suryo Prabowo pun tak mau mengikuti perintah KSAD Jenderal R Hartono.

Suryo Prabowo tidak mau membuat surat telegram yang ditujukan ke satuan organik Korem 164/Wiradharma yang isinya Perintah menggunakan jaket kuning.

Hal ini diketahui para jenderal di sekeliling KSAD. Para jenderal itu tidak suka dengan sikap Suryo Prabowo.

Mereka menilai loyalitas Suryo Prabowo sudah tidak tegak lurus ke atas. Akhirnya Suryo Prabowo dicopot dari jabatannya sebagai Kasrem 164/Wiradharma.

Suryo Prabowo nonjob. Ia dimutasi sebagai pamen Mabes Angkatan Darat sampai waktu yang tidak ditentukan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini