Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Rabu, 27 Juli 2022 | 12:33 WIB
Ilustrasi Ketua DPR RI Puan Maharani. Puan Maharani jadi saksi peristiwa berdarah di Kudatuli. [Dok: DPR]

SuaraLampung.id - Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani menjadi salah satu saksi hidup peristiwa Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli 1996 alias Kudatuli.

Kudatuli adalah kerusuhan yang terjadi di kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro dalam upaya pengambilalihan kantor PDI yang dikuasai Megawati Soekarnoputri, ibu Puan Maharani.

Bagi Puan Maharani, peristiwa Kudatuli adalah salah satu gemblengan terbesar hingga dirinya bisa menjadi menteri dan ketua DPR.

"Kalau orang yang tidak tahu, dipikir Puan itu enak saja, tidak pernah susah hidupnya, cucunya Soekarno anaknya Megawati, dua-duanya pernah jadi presiden. Tapi ini sekelumit cerita yang orang juga banyak tidak tahu," kata dia, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/7/2022).

Baca Juga: Puan Maharani Cerita Momen Mencekam Detik-detik Tragedi Kudatuli

Pada 27 Juli 1996, Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri, diambil alih secara paksa massa dari PDI kubu Soerjadi dan sekretaris jenderalnya, Buttu Hutapaea.

Saat itu pemerintahan Orde Baru membentuk PDI yang lain untuk mengimbangi Megawati yang dipilih sebagai ketua umum DPP PDI dalam Kongres PDI Surabaya pada 1993.

Peristiwa pertumpahan darah itu meninggalkan kesan mendalam bagi Puan, yang saat itu masih mahasiswa namun sudah aktif mendampingi ibunya dalam berbagai aktivitas politik.

Ia menceritakan, saat itu dia dan Megawati sudah hendak berangkat ke Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Nomor 58 begitu mengetahui ada sekelompok massa yang akan datang untuk mengambil alih Kantor DPP PDI itu.

"Ibu saya bilang, ayo siap siap kita ke (Jalan) Diponegoro. Saya sudah siap tiba-tiba ditelefon lagi," kata dia.

Baca Juga: Peringati Tragedi Kudatuli, Ribka Tjiptaning: Usut Terus, Aktor Intelektual Masih Berkeliaran Tanpa Proses Hukum

Megawati kemudian diberi kabar bahwa situasi di Jalan Diponegoro makin genting sehingga ia diminta untuk menunggu.

Puan beserta Megawati dan bapaknya, Taufik Kiemas, pun akhirnya menunggu di rumah mereka di Kebagusan, Jakarta Selatan, sambil terus memantau situasi dari jauh.

"Menit per menit itu semuanya laporan ke ibu saya. Sekarang ada beberapa truk yang mendekati (Kantor) DPP Diponegoro. Semua sudah turun berpakaian hitam-hitam. Sampai akhirnya terjadi peristiwa penyerangan, penyerbuan, pembakaran dan sebagainya," kata Puan.

Tidak lama kemudian, Puan menyaksikan banyak orang dalam keadaan luka parah dibawa ke rumahnya di Kebagusan. Mereka adalah korban dari upaya pengambilalihan paksa kantor DPP PDI. "Rumah sudah seperti tempat pengungsian," kata dia.

Ia mengakui awalnya panik melihat banyaknya orang yang berdatangan ke rumahnya dengan kondisi luka-luka. Mereka awalnya hanya diberi pengobatan seadanya dengan peralatan P3K yang ada di rumah Kebagusan.

Namun ia bersyukur banyak mendapatkan pertolongan, salah satunya adalah dari sejumlah dokter yang mengobati para korban luka. "Akhirnya ada simpatisan yang dokter datang ke situ mengobati mereka," kata dia.

Selama kondisi genting itu, Puan diberi tugas khusus. Sementara ayah dan ibunya sibuk dalam urusan politik, dia diberi tugas untuk menyiapkan makanan bagi para simpatisan yang berkumpul di rumah Kebagusan.

Puan yang saat itu masih muda awalnya kebingungan mendapatkan tugas ini. "Masak apa yang cepat untuk orang sebanyak ini. Kita khan punya peralatan kecil," kata Puan.

Akhirnya Puan pun meminta pembantu di rumahnya untuk memasak nasi dan sayur sop. Menu itu dipilih karena selain mengenyangkan juga bisa untuk banyak orang. Namun, pada akhirnya banyak bantuan makanan dari berbagai pihak yang datang ke Kebagusan.

"Alhamdulillah tanpa diminta banyak orang yang nyumbang, dari siapa-siapa saya juga tidak tahu. Ada beras, pisang, tempe, tahu, dan sebagainya. Di tengah kesusahan kita masih banyak orang baik yang mau datang untuk menolong," ujarnya.

Para simpatisan pendukung Megawati itu terus berkumpul di rumah Kebagusan sampai situasi politik yang panas mulai mereda.

Ia pun mengakui saat itu kuliahnya di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia sempat terganggu akibat kondisi di rumahnya itu. "Saya masih kuliah waktu itu mau keluar rumah aja susah," katanya.

Namun dia dengan sekuat tenaga mencoba membantu perjuangan ibunya namun tetap bertanggungjawab atas kuliah yang diembannya. (ANTARA)

Load More