SuaraLampung.id - Wacana penundaan pemilu 2024 selama dua tahun menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) adalah partai-partai yang mendukung penundaan pemilu 2024.
Sementara itu anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menganggap penundaan pemilu 2024 tidak diatur dalam konstitusi.
Bahkan menurutnya, tidak ada satu pun negara di dunia menunda pemilihan umum (pemilu) dengan alasan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi.
"Penundaan pemilu merupakan strategi populer kedua yang dipakai selain amendemen konstitusi," kata Titi Anggraini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Sabtu (26/2/2022), terkait dengan sejumlah pimpinan partai politik pendukung pemerintah yang mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden.
Pegiat pemilu ini menilai wacana itu merupakan strategi dalam rangka memperpanjang durasi kekuasaan sekaligus menghindari pembatasan masa jabatan dengan cara menghindari pelaksanaan pemilu.
Ia mengemukakan bahwa pada masa pandemi COVID-19 sejumlah negara memang menunda pemilu mereka untuk jangka waktu tertentu. Akan tetapi, pertimbangannya adalah demi keselamatan jiwa warga negara.
"Hal itu pun dilakukan dengan sangat cermat, pertimbangan hukum yang ketat, serta proses yang terbuka," ujarnya.
Kalau alasannya pertumbuhan ekonomi, menurut Titi, selain sangat janggal, tidak lazim, bahkan jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.
Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945, lanjut dia, jelas mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Selain itu, Pasal 22E ayat (1) UUD juga secara eksplisit menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali.
"Mestinya elite dan pimpinan parpol patuh dan taat dalam menjalankan konstitusi, bukan malah menawarkan sesuatu yang jelas tidak ada celahnya dalam UU Pemilu maupun konstitusi kita," tutur Titi.
Ia mengemukakan bahwa budaya konstitusi yang buruk selain merupakan pendidikan politik yang buruk, juga bisa menumbuhkan apatisme yang lebih besar pada publik terhadap para pejabat. (ANTARA)
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Jangan Lewatkan! 5 Link Sebar Saldo Gratis ShopeePay, Siap Isi Dompet Hingga Rp2,5 Juta
-
Polisi Sikat Pengedar Ekstasi dan Pesta Sabu di Lampung Utara
-
Komplotan Pencuri Sawit di Tulang Bawang Diciduk, Satu Residivis Kambuhan
-
5 Spot Treatment Murah untuk Atasi Jerawat Membandel
-
Desa BRILiaN Jadi Bukti Keberhasilan BRI dalam Pemberdayaan UMKM Desa