Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Rabu, 10 November 2021 | 09:15 WIB
ILustrasi Bung Tomo. Kisah Bung Tomo sang pahlawan 10 November. [ist]

SuaraLampung.id - Pertempuran 10 November 1945 diperingati sebagai Hari Pahlawan. Salah satu tokoh yang terlibat langsung dalam pertempuran legendaris itu ialah Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo

Peran Bung Tomo pada pertempuran 10 November 1945 atau pada Hari Pahlawan sangat sentral. 

Bung Tomo lah yang membakar semangat para arek Suroboyo saat melawan tentara sekutu di hari yang diperingati sebagai Hari Pahlawan itu. 

Lewat radio pemberontakan yang ia dirikan, Bung Tomo berpidato lantang menyemangati para pejuang 10 November 1945. Pidatonya inilah yang kemudian menjadi legendaris dan paling dikenang.

Baca Juga: Ketum Muhammadiyah: Hari Pahlawan sebagai Ikhtiar Menyerap Nilai Perjuangan

Pernah Dipenjara

Bung Tomo lahir 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur. Ia adalah seorang wartawan. Di masa revolusi fisik, Bung Tomo diangkat menjadi Ketua Umum Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). 

BPRI inilah wadah perjuangan Bung Tomo dalam melawan sekutu saat mendarat di Surabaya pada Oktober 1945 hingga pecah pertempuran 10 November 1945. 

Ketika Soeharto berkuasa di republik ini, Bung Tomo ditangkap dan dijebloskan ke penjara Nirbaya di tahun 1978. Sikap kritisnya terhadap pemerintahan Orde Baru membuatnya harus hilang kebebasan sebagai warga negara. 

Kurang lebih setahun Bung Tomo menghabiskan hidupnya di penjara Nirbaya. Bebas dari penjara, Bung Tomo berkeinginan menunaikan ibadah haji.

Baca Juga: Ketua Umum PKR Ajak Anak Muda Teladani Pahlawan Slamet Riyadi

Berangkat Haji

Tak punya uang, Bung Tomo bertekad berangkat haji pada tahun 1981. Berkat usahanya tak kenal lelah, Bung Tomo, sang istri Sulistina dan dua anaknya berhasil berangkat haji.

Ternyata di tanah suci itulah kehidupan Bung Tomo berakhir. Diceritakan dalam buku "Bung Tomo Suamiku" tubuh Bung Tomo tiba-tiba panas setelah melaksanakan tawaf dan sa'i. 

Bung Tomo lalu dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Kondisi Bung Tomo sempat pulih . Panasnya turun. Sang pahlawan diperbolehkan pulang dari rumah sakit. 

Tepat sekali hari itu adalah hari ulang tahunnya tanggal 3 Oktober. Istri dan dua anaknya mengadakan pesta ulang tahun kecil-kecilan untuk Bung Tomo.

"Ulang tahun Mas Tom kami rayakan secara sederhana. Kami bertiga menanyikan Selamat Ulang Tahun, namun entah kenapa, kami lupa menyambungnya dengan kata panjang umurnya," tulis Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo dalam buku "Bung Tomo Suamiku".

Baru sebentar merayakan ulang tahun, suhu tubuh Bung Tomo kembali panas. Bung Tomo berkeinginan melaksanakan salat di Masjidil Haram. Sang istri melarang. 

Lama kelamaan tubuh Bung Tomo seperti terbakar. Kulitnya menyala merah. Ia mulai mengigau. Seorang dokter yang ada di sana tidak berbuat apa-apa. Hanya diam melihat Bung Tomo tergolek. 

Sang anak berinisiatif mencari ambulans. Didapatlah ambulans. Bung Tomo segera dibawa ke rumah sakit. Dokter rumah sakit yang menerima Bung Tomo marah besar. 

"Mengapa sudah koma baru dibawa ke rumah sakit?" kesal dokter rumah sakit. Segera Bung Tomo dibawa ke ruang gawat darurat untuk mendapat penanganan. 

Kondisi Bung Tomo sudah drop. Ia tak lagi mengenali istrinya. "Aku memanggil namanya tapi dia diam saja," kata Sulistina, istri Bung Tomo. 

Sulistina menitipkan Bung Tomo kepada perawat rumah sakit karena besok ia harus menunaikan ibadah wukuf di Arafah. Perawat itu bilang Bung Tomo juga akan dibawa ke Arafah untuk wukuf. Ternyata semua pasien di rumah sakit tetap dibawa ke Arafah untuk wukuf agar ibadah hajinya sempurna. 

Bung Tomo Wafat saat Wukuf

Esok harinya di saat Sulistina istirahat wukuf, tiba-tiba ada orang mencarinya. Jantungnya langsung berdegup kencang. Seorang dari Departemen Agama mencari Sulistina, istri Bung Tomo. 

"Ibu hendaknya tabah, kita sebagai manusia hanya menjalani takdir Allah," kata petugas Departemen Agama ke Sulistina. 

Sulistina terhenyak. "Apa?"

"Bung Tomo telah meninggalkan kita semua," jawab petugas tersebut. Air mata Sulistina tak terasa menetes. Penyesalan terdalam Sulistina adalah tak bisa mendampingi suami tercinta di saat terakhirnya. 

Bung Tomo wafat pada 7 Oktober 1981 ketika sedang wukuf di Padang Arafah, Mekkah. Jasad Bung Tomo dimakamkan di Arafah. Selepas mengantar jenazah suaminya, Sulistina kembali ke tenda KBRI. Ia menumpahkan kesedihannya. 

Di saat Sulistina menangis, datang seorang ibu menghampirinya. Ibu itu bercerita bahwa tepat di saat Bung Tomo menarik napas terakhirnya ada petir menggelegar dan halilintar bersambaran. Padahal saat itu langit cerah tak ada mendung. 

"Tuhan telah Kau sambut kedatangan salah seorang hamba-Mu, seorang pejuang Republik Indonesia yang kembali ke haribaan-Mu. Terimalah dia ya Allah dalam kedamaian yang hanya milik-Mu," doa Sulistina sambil menunduk. 

Setelah empat bulan berselang, jenazah Bung Tomo berhasil dipulangkan ke tanah air. 

Load More