Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Kamis, 21 Oktober 2021 | 07:10 WIB
Viral video ibu bernama Hairun Jalmani menangis ketika divonis hukuman mati oleh pengadilan Malaysia.[Twitter/NewsBFM]

SuaraLampung.id - Viral video seorang ibu menangis histeris di pengadilan. Ibu ini menangis setelah dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim. 

Ibu ini dijatuhi hukuman mati karena terlibat dalam kasus peredaran narkoba.

Video ibu menangis dijatuhi hukuman mati ini terjadi di Pengadilan Tinggi Tawau Sabah, Malaysia pada 15 Oktober 2021. 

Ibu yang dijatuhi hukuman mati ini bernama Hairun Jalmani. Hairun adalah ibu dari sembilan orang anak.  

Baca Juga: Polres Jember Tangkap Pengedar Sabu-sabu Asal Jakarta, Ini Kronologinya

Video berdurasi 45 detik itu menunjukkan Hairun menangis saat dia dibawa dari gedung pengadilan. Dia juga memohon bantuan di luar ruang sidang sambil terisak-isak.

Video tersebut langsung viral dan mengundang kontroversi di kalangan warganet Malaysia tentang hak-hak perempuan dan hukuman mati.

Hairun ditangkap pada bulan Januari 2018 dan membawa 113,9 gram metamfetamin.

Di bawah hukum Malaysia, mereka yang kedapatan memiliki lebih dari 50 gram metamfetamin akan menghadapi hukuman mati.

Selain Malaysia, China, Iran, Arab Saudi, Vietnam dan Singapura, juga menjatuhkan hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba.

Baca Juga: Terjerat Kasus Narkoba, Ibu Sembilan Anak di Malaysia Divonis Mati

Para kritikus di Malaysia mengatakan bahwa hukuman mati kerap ditanggung oleh perempuan yang terpinggirkan dan dalam kondisi rentan.

Mereka juga menyebutkan bahwa para perempuan yang dijatuhi hukuman mati di bawah undang-undang perdagangan narkoba, tidak diperhatikan realitas sosial-ekonominya.

Amnesty International (AI) melaporkan bahwa hingga Februari 2019, sedikitnya 1.281 orang dilaporkan menjadi terpidana mati di Malaysia. Sedikitnya 568 orang atau 44 persen dari jumlah tersebut adalah warga negara asing.

"Dari total, 73 persen telah dihukum karena perdagangan narkoba," jelas AI, seraya menambahkan bahwa jumlah tersebut meningkat 95 persen dalam kasus perempuan.

"Beberapa etnis minoritas terwakili secara berlebihan di terpidana mati, sementara informasi yang tersedia terbatas menunjukkan bahwa sebagian besar terpidana mati adalah orang-orang dengan latar belakang sosial ekonomi yang kurang beruntung," jelas AI.

Amnesty International Malaysia mengatakan pada hari Senin bahwa kasus Jalmani adalah contoh bagaimana hukuman mati Malaysia menghukum orang miskin.

AI Malaysia juga menambahkan bahwa perempuan yang menjadi sasaran kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi tidak memiliki kesempatan untuk menuntut hukuman mati.

Pada tahun 2017, wakil ketua senior Yayasan Pencegahan Kejahatan Malaysia Tan Sri Lee Lam Thye, mengatakan bahwa faktor sosial ekonomi seperti kemiskinan dan kurangnya kesempatan kerja menjadi alasan penggunaan narkoba di kalangan nelayan.

"Banyak dari mereka hidup dalam kondisi kumuh, baik di rumah mereka yang bobrok maupun di perahu nelayan. Ini adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan mereka menggunakan narkoba," katanya.

Sejumlah aktivis menunjukkan bahwa hukuman mati merupakan ketidakadilan bagi ibu dari sembilan anak tersebut.

"Mengapa hak untuk hidup begitu mudah ditolak oleh pemerintah?" Amnesti Malaysia bertanya.

"Siapa yang akan menjamin keamanan ketika seorang ibu tunggal dari sembilan anak dijatuhi hukuman mati dan dipisahkan dari anak-anaknya? Keadilan apa yang diberikan ketika ketidaksetaraan struktural dan penindasan yang menciptakan kondisi untuk tuntutannya tetap ada?" sambungnya.

Amnesti Malaysia juga mengimbau pemerintah Malaysia untuk mencabut hukuman mati wajib untuk semua pelanggaran yang dijatuhkan pada Hairun.

Kasus hukuman mati Hairun juga mengundang beragam komentar dari warganet, salah satunya adalah Tehmina Kaoosji, seorang jurnalis senior Malaysia.

"Keadilan itu buta dan mencabut hukuman mati adalah satu-satunya komponen reformasi. Keadaan yang meringankan adalah kebijakan dan didorong oleh masyarakat yaitu; patriarki- dan HARUS berubah, jika tidak, siklus beracun akan terus berlanjut." jelas Tehima.

Load More