Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Selasa, 08 Juni 2021 | 16:15 WIB
Ilustrasi Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi dinilai inkonsisten terhadap keberadaan KPK. [SuaraSulsel.id / Sekretariat Presiden]

Tetapi di samping itu, kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi justru menjauhkan sejumlah elite politik yang terindikasi korup dari jangkauan KPK.

Jokowi dianggap Usman membiarkan tidak adanya proses hukum yang benar serta tidak mencegah serangan-serangan terhadap penyidik, penyelidik, anggota serta pimpinan KPK. 

Secara tidak langsung, Jokowi juga seperti ikut mengamini delegitimasi diskursif bahwa di dalam tubuh KPK terdapat orang-orang radikal.

Bahkan, pemerintahan Jokowi membentuk panitia seleksi (pansel) yang tidak kredibel di dalam menghasilkan pimpinan KPK. 

Baca Juga: Sudah Periksa 19 Pegawai KPK Terkait TWK, Komnas HAM Lakukan Pemetaan

Dalam perjalanannya, Jokowi kerap memperbanyak pengangkatan perwira-perwira polisi aktif yang bersih dari praktik korupsi.

Tetapi di lain sisi, ia juga terus memasukkan perwira-perwira aktif meskipun sudah terindikasi mendapatkan reputasi buruk, contohnya ialah Firli Bahuri yang menjadi ketua KPK. 

Bukan hanya itu, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut dianggap Usman kerap mengabaikan suara-suara masyarakat yang menolak revisi UU KPK. Legislasi itulah yang pada akhirnya menjadi senjata pelemahan KPK. 

"Terakhir ia seperti atau bahkan cenderung mengabaikan pelemahan KPK dalam bentuk alih status pada ASN," tuturnya.

Kalau dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM), semua tindakan tersebut menggambarkan lemahnya pemerintahan Jokowi untuk memastikan pemberantasan korupsi melalui lembaga KPK.

Baca Juga: KPK jadi Role Model Dunia, Skandal TWK Dikhawatirkan Bikin IPK Indonesia Jeblok

"Termasuk mewujudkan keadilan sosial, melalui perebutan kembali aset harta negera yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengembalikan uang-uang masyarakat yang dikelola negara dari praktik-praktik korupsi."

Load More