Nasib Perempuan Desa Penyangga TNWK di Tengah Himpitan Konflik Gajah vs Manusia

persoalan konflik gajah liar dengan petani belum ada solusi, artinya konflik tersebut masih terus terjadi.

Wakos Reza Gautama
Minggu, 27 Agustus 2023 | 07:10 WIB
Nasib Perempuan Desa Penyangga TNWK di Tengah Himpitan Konflik Gajah vs Manusia
Para perempuan di desa penyangga Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Kabupaten Lampung Timur. [Suara.com/Agus Susanto]

SuaraLampung.id - Sejumlah laki-laki meninggal karena terinjak gajah liar. Konflik antara gajah dan manusia ini ditengarai karena maraknya perburuan liar, hingga pembakaran hutan, sehingga gerombolan gajah liar sering keluar hutan dan merusak tanaman petani.

Suara dentuman petasan memecah sunyi malam di pinggir hutan Way Kambas, Kecamatan Labuhanratu, Kabupaten Lampung Timur. Bola petasan yang pecah di udara mengeluarkan kilat cahaya memecah gelap sekejap waktu.

Fenomena yang terjadi pertengahan Juli 2023 itu bukan petasan yang menyambut tahun baru atau hari raya. Suara-suara itu adalah suara perjuangan para petani yang sedang mengusir gajah liar yang merangsek tanaman mereka.

Gajah-gajah ini sudah lama mendatangi kebun-kebun warga karena kehilangan tempat untuk hidup. Akibatnya, warga yang jadi korban.

Baca Juga:Jasa Marga Pamer Penggunaan Teknologi di Jalan Tol

Kondisi ini diduga akibat adanya perburuan ruang diantara gajah di dalam kawasan hutan Taman Nasional Way Kambas/ TNWK karena jelajah gajah yang luas hingga ke rumah-rumah warga.

Fakta di lapangan, yang melakukan pengusiran gajah liar yakni para laki-laki, namun bukan berarti tidak ada dampak bagi para perempuan terutama para istri.

Suami mereka tiap hari harus berjuang mempertahankan tanaman dari gajah gajah liar. Ada suami yang meninggal karena jadi korban terinjak gajah. Ada istri yang kemudian menjadi perempuan kepala keluarga setelah itu.

Warga halau gajah yang masuk ke lahan di desa penyangga Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung Timur. [Suara.com/Agus Susanto]
Warga halau gajah yang masuk ke lahan di desa penyangga Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung Timur. [Suara.com/Agus Susanto]

Pertengahan Juli 2023, Suara.com bertandang di kediaman Sulastri di Desa Tambah Dadi, Kecamatan Purbolinggo, Lampung Timur. Wajah Sulastri seperti menyimpan perasaan dendam dan trauma begitu dalam ketika bicara tentang gajah.

"Udah, saya kalau bicara gajah- gajah bikin saya ngilu, yang saya ingat suami saya meninggal karena gajah liar," ucap perempuan 38 tahun ketika diminta keterangan tentang gajah liar.

Baca Juga:Persahabatan Beda Dimensi? 4 Film Ini tentang Pertemanan Hantu dan Manusia

Rumah Sulastri berbatasan langsung dengan hutan Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Depan rumah terdapat hamparan sawah sehingga sejauh mata memandang sudah terlihat rimbunan pohon hutan Way Kambas.

Meskipun agak berat, Sulastri akhirnya menceritakan peristiwa nahas yang dialami suaminya. Suaminya bernama Yarkoni meninggal diinjak gajah saat menunggu tanaman yang tidak jauh dari rumah mereka.

Rabu 9 November 2022 malam, merupakan kenangan paling pahit bagi Sulastri dan anak- anaknya. Kala itu, Yarkoni ingin mempertahankan tanaman dari gajah liar agar mendapat hasil panen yang maksimal. Namun justru petaka yang didapat. Ia kebingungan ketika mendapat kabar bahwa suaminya pingsan.

"Sekitar pukul 20.30 saya dapat kabar dari suami saya pingsan diinjak gajah, yang ada dalam benak saya kaki gajah begitu besar, bagaimana kalau sampai menginjak tubuh suami saya," cerita Sulastri dengan nada berat sambil matanya memandang jauh ke langit- langit rumah.

Sulastri seakan tidak berdaya waktu itu ketika melihat tubuh suaminya. Yarkoni dalam kondisi koma di salah satu Rumah Sakit di Kota Metro.

Melihat suaminya terbaring diatas bed pasien, lebih lagi mendapat kabar bahwa tulang kaki dan rusuknya patah akibat injakan kaki gajah, Sulastri kebingungan minta ampun.

"Selang beberapa jam dari perawatan medis dinyatakan suami saya meninggal. Hati saya begitu trenyuh, saya mau menyalahkan siapa, apalagi yang menyebabkan kematian suami saya seekor binatang, bukan manusia, secara hukum pun saya tidak bisa berbuat apa-apa," jelas Sulastri.

Paska kematian suaminya, perempuan berkulit sawo matang ini harus menjadi tulang punggung keluarga untuk kedua anaknya. Dengan memelihara tiga ekor sapi peninggalan Yarkoni, ia kemudian menjadikan sapi-sapi ini jadi modal dan tabungan untuk keperluan hidup dan sekolah anak-anaknya.

Setelah Yarkoni meninggal, mereka tidak dapat bantuan atau asuransi untuk menyambung hidup, baik dari pihak Taman Nasional Way Kambas (TNWK).

Dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur juga tidak dapat. Yang ada hanya sedikit uang yang disebut uang tali kasih sebagi tambahan pelaksanaan doa paska meninggalnya Yarkoni.

"Tidak ada asuransi hanya dapat uang Rp10 juta entah dari mana, yang pasti uang itu diberikan oleh pihak Balai TNWK untuk tambahan pelaksanaan yasinan selama 7 hari," terang Sulastri.

Saat ini Sulastri jadi perempuan kepala keluarga yang harus menghidupi 2 anaknya. Kematian Yarkoni seolah hanya menjadi sejarah kelam bagi keluarga mereka, karena kematian Yarkoni akibat diinjak gajah tak pernah dikenang sebagai korban atau pejuang yang menyelamatkan tanaman di lingkungannya dari gajah liar. Tak ada penghargaan atau balas jasa dari pemerintah untuk Yarkoni.

Siti Rokhayah juga mengalaminya. Para perempuan khususnya ibu rumah tangga yang ada di Dusun 1, Desa Rantau Jaya meronta dengan kondisi yang ada, yaitu dengan adanya konflik gajah liar yang selalu merangsek tanaman petani.

Meskipun perempuan di sana tidak berhadapan langsung dengan satwa dan hutan, tapi dampak yang tidak diinginkan juga dirasa oleh perempuan. Seperti setiap malam suami mereka harus menjaga tanaman dari pukul 19.00 hingga pagi hari.

"Dampaknya kami was-was, malam yang seharusnya bisa bersama dengan anak istri, suami harus bermalam di kebun, tapi semua itu demi utuhnya tanaman kami," kata dia.

Karena setiap ada kerusakan tanaman akibat gajah liar, Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur ataupun pihak Balai TNWK seolah tidak mau bertanggung jawab seperti mengganti rugi tanaman yang dimakan gajah liar.

Sulastri, sudah 7 bulan ini  harus bekerja keras menghidupi dua anaknya. Sejak suaminya meninggal, dia harus bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan tidak menentu, dengan penghasilan tidak lebih dari 50 ribu per hari untuk kebutuhan makan sehari hari.

Perempuan yang tinggal di Desa Tambahdadi, Kecamatan Purbolinggo, Kabupaten Lampung Timur itu selain bekerja serabutan, setiap hari harus mencari rumput untuk pakan 3 ekor sapinya.

"Selama suami meninggal saya buruh apa saja, terutama buruh buruh di sawah, sambil mencari rumput untuk pakan sapi peninggalan suami,” kata dia.

Apalagi kata dia, anaknya yang nomor dua masih usia 5 tahun masih membutuhkan banyak uang untuk keperluan sekolah, sementara anak pertamanya yang sudah lulus SMA sudah merantau mencari nafkah semenjak ayahnya meninggal. Selama 7 bulan, ia merasa berat untuk mencari nafkah dan menghidup anak-anaknya.

Usulkan Asuransi

Persoalan yang dialami oleh petani penyangga baik kerugian materi akibat tanaman yang rusak atau dimakan rombongan gajah liar hingga ada korban jiwa sudah terjadi selama bertahun-tahun.

Pengurus Forum Rembuk Desa Penyangga (FRDP) sudah sering melakukan koordinasi dengan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur ataupun dengan Balai TNWK.

"Sudah bosan kami mengusulkan permohonan agar petani yang tanamannya rusak akibat gajah bisa diganti rugi. Petani yang meninggal akibat gajah liar agar dapat asuransi tapi tidak pernah ditanggapi," kata Pengurus FRDP Hutan TNWK, Prayitno saat ditemui Jumat (11/8/2023).

Sebagai pengurus forum desa penyangga, tentu persoalan konflik gajah liar dengan petani belum ada solusi, artinya konflik tersebut masih terus terjadi.

Persoalan sosial tersebut tidak hanya menjadi persoalan bagi laki-laki, namun kaum perempuan khususnya yang suaminya sebagai petani penyangga hutan juga merasakan dampak negatif.

"Ketika suami menunggu tanaman dari serangan gajah liar, tentu sang istri pasti merasa cemas karena sudah banyak fakta penunggu tanaman mati akibat serangan gajah liar," kata Prayitno.

Kata Prayit, tidak ada pilihan lain selain pasrah dan berikhtiar dari persoalan- persoalan konflik gajah liar yang tidak kunjung menemui solusi .

Sementara Kepala Balai TNWK, Kuswandono menanggapi persoalan tanaman petani yang dirusak atau dimakan gajah liar menegaskan bahwa tidak ada anggaran dari pusat untuk ganti rugi tanaman ini.

Ia menyatakan, bukan berarti tidak ada perhatian kepada petani desa penyangga, bentuk perhatian yang sudah diterapkan oleh pihak Balai TNWK yakni dengan melibatkan masyarakat desa penyangga masuk dalam keanggotaan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan untuk perempuan dibentuk wadah Kelompok Wanita Tani (KWT).

Untuk KWT, kata Kuswandono mitra Balai TNWK sudah memberikan pelatihan pemberdayaan Sumberdaya Manusia dan juga memberikan modal, berikut pendampingan hingga KWT bisa menjalankan usaha mikro nya secara kelompok.

"Banyak yang dilakukan ibu-ibu KWT, seperti pengolahan madu, makanan ringan dari bahan bahan singkong, pembuatan batik baju dengan bahan alami," kata Kuswandono.

Tujuan pemberdayaan kelompok perempuan tani tersebut, agar ibu ibu desa penyangga bisa memiliki sumber penghasilan sehingga bisa membantu pendapatan suami.

"Rata rata pelaku pemburu ketika tertangkap dan hasil investigasi kawan-kawan mitra mereka melakukan atas dasar kebutuhan ekonomi. Maka kami ciptakan warga penyangga hutan sebuah usaha kecil yang bisa menghasilkan uang," kata Kuswandono.

Dibutuhkan Regulasi Ganti Rugi

Dalam kunjungannya ketika melakukan dialog bersama warga Desa Penyangga Hutan TNWK, di Desa Braja Harjosari, Kecamatan Braja Selebah, Lampung Timur, Minggu (13/8/2023),  Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin menegaskan setelah 16 Agustus 2023 akan melakukan rapat kerja bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) bersama rekan rekan komisi IV.

Dalam rapat kerja tersebut, Sudin berencana akan membuat regulasi terkait ganti rugi tanaman yang dirusak gajah, hingga penanganan petani yang menjadi korban gajah liar.

"Jangan sampai terus terusan masyarakat kami, warga kami terus- terusan menjadi korban baik materi hingga jiwa akibat konflik gajah liar," kata Sudin.

Ketua Komisi IV DPR RI tersebut juga akan membangun kanal permanen agar gajah tidak bisa keluar dari hutan, katanya politisi PDIP itu juga akan menganggarkan Rp10 miliar untuk pembangunan kanal.

Perebutan Lahan Antara Gajah dan Manusia

Data yang didapat dari Wildlife Conservation Society (WCS), dari tahun 2000 hingga 2023 petani yang meninggal akibat serangan gajah liar sebanyak 5 orang. Tercatat tahun 2000, ada petani bernama Jiwon yang meninggal di tempat kejadian Desa Braja Asri, Kecamatan Way Jepara.

Selanjutnya tahun 2010 petani bernama Sumarjo warga Desa Tegalyoso, Kecamatan Purbolinggo, 2021 petani bernama Sutikno warga Desa Tegalyoso, Kecamatan Purbolinggo, dan ke lima tahun 2022 petani bernama Yarkoni warga Desa Tambahdadi, Kecamatan Purbolinggo.

"Itu catatan kami dari 2000 hingga 2022 ada lima orang yang meninggal akibat serangan gajah liar,"kata Koordinator WCS Sugio, Senin (15/8/2023).

Kronologinya semua sama, yakni ketika korban sedang menunggu tanamannya pada malam hari, dan rata-rata yang menjadi korban serangan gajah adalah laki-laki dengan usia di atas 45 tahun.

Sementara kata Sugio, alasan gajah keluar dari kawasan, di duga akibat adanya perebutan ruang di antara gajah di dalam kawasan hutan TNWK karena jelajah gajah yang luas. Mereka lalu pergi ke perkebunan warga.

Gajah tidak mengenal batas kawasan. Gajah pendatang yang sudah mengenal makanan pertanian yang siap saji, karena gajah memiliki sifat oportunis yakni memilih mencari makan yang mudah.

"Selain itu gajah cukup mudah masuk ke lahan pertanian warga karena pembatas antara hutan dan peladangan hanya sebuah kanal yang mudah dilalui gajah liar," kata Sugio.

Populasi gajah yang ada di hutan Way Kambas adalah gajah asli Way Kambas dan gajah pendatang hasil program tata liman, yakni dari Kabupaten Way Kanan, Tulang Bawang, Mesuji, Lampung Utara, Lampung Barat dan Lampung Selatan.

Sugio pun tidak menampik dengan adanya perilaku manusia yang melakukan kegiatan ilegal  dalam hutan Way Kambas, seperti melakukan perburuan hewan jenis menangan dan sebagainya hingga peristiwa kebakaran hutan juga menjadi penyebab gajah liar keluar dari dalam hutan.

Perburuan satwa dan kebakaran hutan menjadi pemicu gajah berjalan menghindari lokasi yang rawan perburuan dan kebakaran hutan mencari lokasi yang aman, yang akhirnya keluar hutan dan masuk ke areal pertanian penduduk," terang Sugio.

Sementara, secara umum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendapatkan data bahwa di sejumlah tempat seperti di Aceh, konflik satwa liar dengan manusia tak pernah berhenti.

Ini diakibatkan karena tingginya alih fungsi hutan atau lahan dan banyaknya kegiatan ilegal yang terjadi di habitat gajah dan satwa liar lainnya yang merupakan penyebab konflik antara manusia dan gajah.

Di tahun 2014, Walhi pernah mencatat tentang konflik manusia dan gajah di Aceh. Walhi mencatat konflik terbesar yang terjadi antara satwa dan manusia adalah gajah.

Menurut WALHI Aceh konflik satwa dengan manusia terjadi terutama untuk gajah, karena jalur tempat tinggalnya diganggu.

Walhi mengkritisi kinerja lembaga konservasi perlindungan satwa yang lebih banyak melaporkan saat kejadian, seperti pemadam kebakaran.

Seharusnya harus ada upaya yang serius untuk melakukan pencegahan sejak awal, bukan sekedar menghitung jumlah kejadian dan angka kematian. Penting bagaimana konflik satwa harus diselesaikan secara terpadu dan perlu ada pertanggungjawaban atas kinerjanya selama ini.

*) Tulisan ini merupakan hasil training jurnalisme Lingkungan Berperspektif gender yang diselenggarakan Konde.co bekerja sama dengan Earth Journalism Network

Kontributor : Agus Susanto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak