Pengamat Militer Minta KSAD Jenderal Dudung Abdurachman Fokus Pencegahan Infiltrasi Paham Radikal di TNI AD

pencegahan infiltrasi paham radikal di TNI membutuhkan strategi dan mekanisme yang solid, sistematis dan terukur.

Wakos Reza Gautama
Rabu, 26 Januari 2022 | 20:20 WIB
Pengamat Militer Minta KSAD Jenderal Dudung Abdurachman Fokus Pencegahan Infiltrasi Paham Radikal di TNI AD
Ilustrasi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman. Pengamat militer minta KSAD Jenderal Dudung fokus pencegahan infiltrasi paham radikal di TNI AD. [Kadispenad]

SuaraLampung.id - Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman disarankan fokus pada pencegahan infiltrasi paham radikal ke institusi TNI AD.

Pengamat militer dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas mengatakan, upaya pencegahan infiltrasi paham radikal di TNI membutuhkan strategi dan mekanisme yang solid, sistematis dan terukur.

"Hal ini menjadi penting mengingat institusi TNI juga tidak imun dari paham radikal," kata Anton, Rabu (26/1/2022) dikutip dari ANTARA.

Kepala CIDE ini menyebutkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sendiri pernah memprediksi adanya ancaman infiltrasi jaringan teror ke instansi pemerintah termasuk TNI.

Baca Juga:Faktor Emosi Masih Labil, BNPT Sebut Mahasiswa Mudah Terpapar Doktrin Takfiri Kelompok Teroris

Apalagi, lanjut dia, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 2019 lalu pernah menyebutkan sekitar 3 persen prajurit TNI terpapar paham radikal.

Keinginan Jenderal Dudung Abdurachman untuk melibatkan prajuritnya menangani radikalisme bukanlah hal baru. Pada 22 November 2021 lalu, Dudung secara gamblang mengutarakan rencana melibatkan babinsa untuk mendeteksi radikalisme.

Dia mengaku jumlah tersangka kasus pidana terorisme di Indonesia memang terjadi peningkatan signifikan.

Data Mabes Polri menunjukkan jumlah tersangka kasus terorisme pada tahun 2021 mencapai 370 orang, naik sekitar 62 persen dari tahun 2020 yang mencapai 228 tersangka.

Kendati demikian, perlakuan terhadap fenomena radikalisme dan terorisme hendaknya tidak disamaratakan karena tidak semua yang terpapar paham radikal akan otomatis menjadi teroris.

Baca Juga:Apel Gelar Pasukan TNI AD di Lapangan Monas

Di sisi lain, penanganan masalah radikalisme di Indonesia memang terasa ambigu karena sejauh ini aparat penegak hukum belum mempunyai alat ukur terkait radikalisme.

BNPT sendiri hanya pernah melakukan pengukuran potensi radikalisme pada tahun 2020 lalu. Selain itu, UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga tidak mendefinisikan radikalisme secara tegas.

"Dalam konteks pencegahan terorisme, Pasal 43A ayat 3 UU No5/2018 menyebutkan ada tiga langkah yang dapat dilakukan yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Dan semua langkah tersebut dikoordinasikan BNPT secara terpadu, sistematis dan berlanjut," papar Anton.

Sedangkan, terkait keterlibatan prajurit TNI AD lebih jauh dalam pencegahan terorisme di ruang publik hendaknya menunggu terbitnya Perpres Pelibatan TNI untuk Terorisme.

Keberadaan payung hukum ini, kata Anton, menjadi penting untuk mengetahui sejauh mana pelibatan TNI dalam aksi pencegahan sekaligus melindungi prajurit saat bertugas dan semua aktivitas tersebut harus dalam koordinasi BNPT.

Selain menghindari kegaduhan yang tidak perlu, tambah dia, hal itu juga dapat meminimalisir ekses termasuk munculnya "stereotyping" dalam pencegahan terorisme. Jika tidak dibekali aturan jelas, langkah prajurit untuk bertindak proaktif dalam deteksi dini radikalisme dapat berpotensi kontraproduktif.

"Kita tidak ingin gelombang radikalisme justru menguat karena langkah aparat keamanan yang berlebihan. Dan tentunya Presiden Joko Widodo lebih menginginkan situasi yang tidak gaduh di saat pemerintah fokus memulihkan perekonomian akibat pandemi," demikian Anton Aliabbas. (ANTARA)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini